Pembahasan Lengkap Tentang Ahliyah Manusia dalam Hukum Syara'
Sunday, January 1, 2017
Add Comment
Pembagian Ahliyah |
A. Pendahuluan
Manusia adalah sosok yang berperan penting dalam kehidupan dan segala apa yang dilakukan selalu ada konsekuensinya. Sebagaimana fungsinya manusia ditugaskan sebagai khalifah di bumi ini dan semua perbuatannya tak dapat lepas dari pertanggung jawaban. Dalam kehidupan sehari-hari seperti, melakukan akad jual beli, utang piutang, atau dalam menjalankan ibadah seperti haji, manusia dalam hal ini sebagai Mahkum 'alaih dapat dikatakan sah karena sudah memenuhi persyaratan yang ada, atau mungkin status sahnya diurungkan untuk sementara dikarenakan ketentuan-ketentuan yang ada juga. Hal itu karena ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga dapat menjadikan manusia sebagai mukallaf atau seorang yang sudah dikatakan cakap hukum, sehingga apa yang dilakukan dan diucapkan sudah sah, sempurna, layak (ahliyah)secara hukum.
B. Pengertian Mahkum 'alaih
Mahkum ‘alaih adalah seorang yang segala perbuatannya terkena Khitab as-Syari’ atau terkena hukum[2]. Dalam Istilah Ushulul Fiqh Mahkum ‘alaih sering disebut dengan Mukallaf(orang yang terbebani hukum).
Dalam Syara’ sahnya memberi beban kepada Mukallaf, disyaratkan seorang Mukallaf harus memenuhi dua hal, yaitu:
1. Seorang Mukallaf harus dapat memahami dalil taklif(pembebanan)
yaitu ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan al-Qur’an dan al-Sunnah baik yang langsung maupun melalui perantara. Sebab orang yang tidak orang yang tidak mampu memahammi dalil taklif tidak akan dapat mengikuti apa yang dibebankan kepadanya dan akan memahami maksudnya.
Padahal kemampuan untuk memahami dalil itu hanya diperoleh melalui akal, dan dengan adanya nash-nash yang dibebankan kepada orang-orang yang mempunyai akal itu dapat diterima pemahaman nya oleh akal mereka. Sebab akal adalah alat untuk memahami dan mengetahui sesuatu. Dengan akallah kemauan untuk mengikuti itu dapat terbimbing. Namun karena akal itu merupakan sesuatu yang tidak dapat diindrawi secar lahiriyah, maka syar’I telah menghubungkan taklif dengan hal yang nyata dan dapat diindra, dan yang menjadi asumsi bagi akal, yitu kedewasaan.[3]. Maka orang yang telah maencapai tingkat kedewasaan tanpa menampakkan sifat-sifat yang merusak akalnya, berarti telah sempura untuk terkena beban hukum.
Atas dasar itulah orang gila dan anak-anak tidak dikenai baban hukum karena tidak adanya kal yang digunakan untka memahami apa yang dibeabankan. Demikan pula orang yang lupa, tidur, dan mabuk, karena dalam keadaan tersebut seorang tidak memiliki kemampuan untuk memahami. Sebagaimana Hadist Rasulullah:”Diangkatlah pena itu( tidak dicatat amal perbuatan manusia)dari tiga orang: orang yang tidur hingga terbangun, anak-anak hingga ia dewasa, dan orang gila hingga ia berakal”. Adapun mewajibkan zakat, nafkah, dan jaminan atas anak-anak dan orang gila, hal itu bukanlah berarti memberikan beban kepadanya, akan tetapi hanya mebebani walinya agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak dan orang gila tersebut[4].
Adapun mereka yang tidak mengerti bahasa arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil dan tuntutan syara’ dari al-Qur’an dan al-Sunnah, maka menurut aturan syara’ tidak sah memberi beban kecuali jika mereka itu belajar bahasa arab dan dapat memahami nas-nash bahasa arab, atau melalui dalil-dalil tuntutan syara’ yang diterjemahkan kedalam bahasa mereka[5].
2. Seorang Mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.
Kata Ahli, secara etimologis adalah kelayakan atau layak[6]. Sedangkan menurut terminology Ulama Ushulul Fiqh adalah kelayakan seseorang karena haknya dan melaksanakannya[7]. Adapun ahliyah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:ahliyatul wujub dan ahliyatul ‘ada.
a. Ahliyatul Wujub.
Adalah kelayakan seseorang dikarenakan layaknya ada hak-hak dan kewajiban padanya[8]. Dasar kelayakan ini adalah adanya karakteristik tertentu yang diciptakan Allah kepada semua manusia dan menjadi spesifikasi diantara berbagai macam binatang yang ada. Spesifikasi tersebut oleh Ulama’ Ushulul Fiqh disebut Dzimmah. Dzimmah adalah sifata naluri kemanusiaan yang dengannaya manusia dianggap mampui menerima ketetapan hak-hak orang lain dan dianggap mampu menerima kewajiban orang lain pula.
Ke-ahliyahan tersebut bersifat eternal pada setiap orang, sehingga dengannya makhluk hidup dapat dikenal sebagai manusia, baik laki-laki maupun perempuan, janin atau anak-anak, anak yang sudah mumayyis atau sudah baligh, sehat atau sakit, berkenaan dengan terdapatnya ke-ahliyahan itu yang secara spesifik bernaluri kemanusiaan, jadi, pada dasarnya semua manusia, apakah dia mempunyai ke-ahliyahan(kelayakan) wajib, yang jelas tidak ada seorangpun yang tidak mempunyai keahliyan wajib itu, sebab ke-ahliyahan wajib itu adalah sebagai tanda kemanusiaannya.
b. Ahliyatul ‘Ada
Adalah kelayakan diberi beban sehingga seorang dianggap pantas menurut syara’ atas ucapan dan perbuatannya[9]. Sehingga apabila orang tersebut mengadakan suatu ikatan perjanjian aatau tasharruf tentang sesuatu, maka menrut syara’ hal tersebut dianggap sah dan terlaksana. Demikian pula apabila ia melaksanakan kewajiban seperti shalat dan haji maka menurut syara’ semua dianggap sah dan dapat menggugurkan kewajibannya. Demikian juga bila ia melakukan tindak pida ia akan terkena hukuman.
Jadi, yang dimaksud dengan ahliyah ’ada adalah kemampuan mempertanggung jawabkan, dan prinsip dasarnya adalah kemampuan membedakan segala sesuatu dengan akalnya.
C. Keadaan manusia dikorelasikan dengan Ahliyah Wujub
Manusia bila dihubungkan dengan Ahliyah wujub dapat diklasifikasikan menjadi dua keadaan, yaitu:
1. Ahliyah al-wujub al-naqisah
Manusia terkadang mempunyai ke-ahliyahan wajib yang kurang sempurna, artinya apabila hanya pantas baginya diberikan beberapa ketentuan namun tidak hak, wajib atasnya beberapa kewajiban, atau sebaliknya. Ulama' memberikan contoh janin yang ada di perut ibunya. Sesungguhnya janin itu mempunyai ketentuan beberapa hak, diantaranya ia berhak menerima harta pusaka dan berhak menerima wasiat, tetapi ia tidak dikenakan atas kewajiban-kewajiban orang lain.
2. Ahliyah wujub kamilah
Manusia terkadang mempunyai keahlian wajib secara eternal dan permanen, artinya apabila pantas baginya diberikan hak dan kewajiban. Keahlian ini bersifat permanen bagi semua manusia sejak ia lahir[10], jadi bagaimanapun juga setiap orang sejak masa kanak-kanak hingga baligh dan dewasa dan dalam keadaan bagaimanapun, memiliki keahlian wajib secara sempurna, dan tidak ada seorang pun yang tidak memppuyai ahliyah wujub.
D. Keadaan Manusia dikorelasikan dengan Ahliya 'Ada
Dalam hal ini manusia dapat diklasifikasikan menjadi 3 keadaan, yaitu:
1. Manusia secara determinis terkadang tidak mempunyai keahlian melaksanakan, atau kehilangan keahlian melaksanakan.
Dalam hal ini berlaku pada anak-anak ketika masa kanak-kanak dan pada orang gila. Anak-anak dan orang gila tersebut tidak mempunyai akal, juga tidak memiliki keahlian melaksanakan, dan segala ucapan maupun perbuatan tidak kenai syara'. Untuk hal itu maka seluruh akad dan pengelolaannya dianggap batal.
Batas maksimalnya apabila salah satu diantara keduanya melkukan tindak pidana terhadap jiwa atau harta orang lain, maka hukuman bagi keduanya dikenai hukuman harta bukan hukuman fisik. Jadi apabila anak-anak dan orang gila itu membunuh atau merusak harta orang lain maka hukumannya adalah denda atas harta yang dirusak atau pembunuhan yang telah mereka lakukan, dan tidak diberlakukan qisos bagi mereka berdua. Sebagaimana pendapat Ulama’ fiqh” Kesengajaan anak-anak atau orang gila adalah kekeliruan .”, karena selama tidak ada akal, tidak ada pula hasrat ataupun kesengajaan.
2. Manusia terkadang tidak sempurna dalam ahliyah ’ada-nya, yaitu saat anak usia remaja (mumayyis).
Hal ini berarti mencakup anak-anak yang masih dalam usia remaja sebelum ia baliggh. Termasuk pula orang yang kurang berakal, karena orang yang kurang berakal itu tidak cacat akalnya namun ia hanya lemah dan kurang akal, oleh karena itu hukum yang dikenakan baginya dikategorikan sebagai anak remaja. Masing- masing dari anak dan orang yang kurang berakal itu, sah secara pribadi tanpa perantara unutk mengelola sesuatu yang berguna, seperti menerims hibah dan sedekah tanpa mendapat izin dari walinya.
Adapun mengelola sesuatu secara pribadi tanpa perantara yang berbahaya seperti berbuat amal ibadah, maka perbuaatannya dianggap tidak sah sama sekali, sekalipun diizinkan oleh walinya. Sementara perbuatan mengelola sesuatunya yang berguna atau berbahaya dapat dianggap sah pengelolaannya setelah ada izin dari walinya, tetapi harus ditangguhkan, dengan ketentuan, jika walinya mengizinkan mengizinkan mengadakan ikatan perjanjian atau pengelolaan, dan ikatan perjanjian atau pengelolaan lancar itu dianggap sah.
Apabila tidak lancar, maka batallah ikatan perjanjian atau pengelolaannya itu. Pada dasarnya ikatan perjanjian atau pengelolaan dari anak remaja atau orang yang kurang berakal adalah atas telah permanen keahlian asli melaksanakan. Adapun penangguahan sahnya ikatan perjanjian tersebut karena kurang dalam ke-ahliyahan.
3. Manusia terkadang sempurna dalam ke-ahliyahan melaksanakan(ahliyatul ’ada)
yaitu orang yang telah sampai pada usia dewasa dan berakal, Sehingga ahliyatul ’ada yang sempurna dinyatakan dengan kedewasaan atau akalnya.
E. Penghalang-penghalang dalam ke-Ahliyahan
Ke-ahliyahan wajib itu bersifat permanen bagi manusia selama masih memiliki sifat kemanusiaan, meskipun manusia itu masih dalam bentuk janin, ia juga tetap memiliki kepermanenan ke-ahliyahan secara tidak sempurna dalam masa kanak-kanaknya. Sehingga selama hidup ke-ahliyahan ini tidak akan menjadi berkurang atau hilang.
Adapun ke-ahliyahan ’ada itu tidak permanen bagi manusia sehingga seorang dikatakan mempunyai ke-ahliyahan penuh ketika sudah baligh dan berakal. Tapi terkadang ada berbagai penghalang dalm ke-ahliyahan-nya itu, yaitu:
a. penghalang samawi yang tidak dapat dicari dan diusahakan oleh manusia, seperti: gila, kuramg akal, tidur, dan lupa[11].
b. penghalang muktasabah yang dapat disahakan manusia dan terjadi lantaran usaha manusia seperti; mabuk, bodoh, dan hutang[12].
Penghalang-penghalang yang datang pada ke-ahlian ’ada diantaranya ada yang datang, lalu dapat menghilangkan sama sekali ahliyah a’da-nya, seperti gila, tidur, dan pingsan. Sehingga orang tersebut tidak sah pengelolaannya. Penghalang lain yang datang pada manusia namun hanya mampu mengurangi ke-ahliyahan ’adanya adlah sifat kurang akal. Pada orang ini sebagian tasharruf dapat dianggap sah dan sebagian yang lain dianggap tidak sah, hal tersebut terjadi pada anak usia remaja(baligh).
Ada penghalang lain yang datang pada manusia tetapi tidak mempengaruhi ke-ahliyahan, tidak menghilangkan, dan tidak menguranginya, akan tetapi merubah hukum-hukunya karena ada anggapan dan keuntungan yang menghendaki perubaahan ini, bukan karena kehilangan atau kekurangan ke-ahliyahan. Seperti ketidak tahuan, lupa, dan hutang.
Jadi asas ahliyatul 'ada itu adalah kemampuan membedakan sesuatu dengan pertimbangan akal, sedangkan indikasinya adadah sifat kedewasaan.Maka orang yang telah dewasa dan berakal, ahliyatul 'ada-nya dianggap sempurna. Oleh sebab itu apabila datang sesuatu yang baru, sedang dampaknya dapat menghilangkan akal orang dewasa tersebut, seperti gila atau sesuatu yang dapat melemahkannya, seperti sifat kurang akal, atau keadaan yang dapat menghilangkan kecerdasannya, seperti tidur dan pingsan, maka sesuatu yang baru itu dapt menjadi penghalang. Hal tersebut berdampak pada hilangnya ahliyatul 'ada(ke-ahliyahan melaksanakan).
REFERENSI
Muhammad Zakariya.tt. Ushul Fiqh. Mesir: Darut Tsaqofah
Abdul Wahab Khallaf. 1990. Ilmu Ushul Fiqh.Kairo: Syabab al-Azhar
Wahbah az-Zuhaili.2003.al-Wajiz Fi Ushul Fiqh.Beirut:Darul Fikr al-Mu'ashir
Abdul Karim Zaidan.1990.al-Wajiz Fi Ushul Fiqh.Beirut:Maktabah al-Batsair
[1] Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushulul fiqh
[2] Lihat Wahbah az-Zuhaili 1995.al-Wajiz Fi Ushul Fiqh.(Beirut:Darul Fikr al-Mu’asir). Hal. 155
[3] Lihat Abdul wahab Khalaf.Ilmu Ushulul Fiqh.(Kairo: Syababul azhar) Hal 123
[4] Baca Al-Karim Zaidan.1990.al-Wajiz Fi Ushulul Fiqh.(Beirut:Maktabah al-Batsair) hal 88
[5] Abdul Wahab Khalaf(Ilmu Ushul Fiqh),hal 135
[6] Ibid hal 135
[7] Lihat Wahbah az-Zuhaili.(al-Wajiz Fi Ushul Fiqh). Hal 156
[8] Lht. Muhammad Zakariya al-Bardali.(kairo:Darussaqafah), hal. 135
[9] Wahbah az-Zuhaili.(al-Wajiz Fi Ushul Fiqh). Hal 157
[10] [10] Lihat Abdul wahab Khalaf(Ilmu Ushulul Fiqh) hal. 137
[11] Wahbah az-Zuhaili.(al-Wajiz Fi Ushul Fiqh). Hal 159
[12] Ibid hal.159
0 Response to "Pembahasan Lengkap Tentang Ahliyah Manusia dalam Hukum Syara'"
Post a Comment