[MAKALAH] Pembahasan Lengkap Tentang Biografi Imam Abu Hanifah
Monday, December 4, 2017
Add Comment
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imam Abu Hanifah adalah salah seorang ulama atau faqih yang cukup besar dan luas pengaruhnya dalam pemikiran hukum Islam. Sebagaimana diceritakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih dan ulama yang lebih banyak menggunakan ra‟yu atau setidak-tidaknya lebih cenderung rasional. Pemikiran Abu Hanifah banyak pengaruhnya dan berkembang di berbagai kawasan negeri Islam, seperti Irak, Syam dan sekitarnya serta tersebar di Mesir dan daerah-daerah lainnya. Di Indonesia tokoh Imam Abu Hanifah juga populer di masyarakat. Namun, kepopuleran itu hanya sebatas ketokohannya saja.
Sedangkan pemikiran Abu Hanifah mengenai hukum Islam kurang populer. Hal ini karena di Indonesia corak fiqhnya memang cenderung ke Syafi‟iyyah. Oleh karena itu, perlu adanya pengkajian terhadap pemikiran tokoh-tokoh fiqh selain Syafi‟iyyah khususnya pemikiran Abu Hanifah agar dapat memperkaya khasanah keilmuan hukum Islam di Indonesia. Selain itu Imam Hanifah memiliki aklhaq yang terpuji yang patut untuk kita jadikan suri tauladan dalam menjalani kehidupan di bumi allah ini. Sehingga perlu kita melakukan sebuah pengkajian tentang kehidupan dan aklhaq yang dimiliki Imam Abu Hanifah yang akan kami sajikan dalam makalah agama yang berjudul “Biografi Imam Hanifah”
1.2 Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang kelompok kami ambil adalah perjalanan hidup Imam Hanifah beserta akhlaq yang dapat dijadikan suri tauladan para pemuda-pemudi muslim
1.3 Maksud dan Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pendidikan agama islam, mengetahui perjalanan hidup Imam Hanifah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Abu Hanifah
2.1.1 Nasab Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H/699 M. Demikianlah menurut riwayat yang masyhur. Nama beliau yang sebenarnya mulai dari kecil ialah Nu‟man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya keturunan dari bangsa Persia (Kabul, Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Dengan ini teranglah bahwa beliau bukan keturunan dari bangsa Arab, melainkan beliau dilahirkan di tengah-tengah bangsa Persia.
Ia lebih populer dipanggil Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang dinamakan Hanifah, ini menurut satu riwayat. Dan menurut riwayat yang lain, sebab ia mendapat gelar Abu Hanifah, karena ia adalah orang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh melakukan kewajibannya dalam beragama. Karena perkataan “Hanif” dalam bahasa Arab itu artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang benar. Dan ada pula yang meriwayatkan, bahwa sebab ia mendapat gelar dengan “Abu Hanifah” itu lantaran dari eratnya berteman dengan “tinta”. Karena perkataan “Hanifah” menurut lughat Irak artinya “dawat” atau “tinta”. Yakni ia di mana-mana senantiasa membawa dawat guna menulis atau mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya atau lainnya. Dengan demikian lalu ia mendapat gelar Abu Hanifah.
2.1.2 Pertumbuhan dan Kehidupannya
Sebagian besar hidup Abu Hanifah semasa dengan kekuasaan Bani Umayyah, sisanya dalam masa Bani Abbasiyah. Ia lahir pada masa kekuasaan Bani Umayyah di era pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan meninggal dunia pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah dibawah pemerintahan Abu Ja‟far al-Mansur.
Kehidupan Abu Hanifah tak lepas dari masyarakatnya atau di salah satu sudutnya. Ia hidup bahkan di jantung dan pusat kota. Ia hidup di ibu kota Baghdad tempat berkumpulnya ilmu dan para ulama, tempat bersemainya kajian dan para pengkaji, diskusi dan ahli diskusi, tren-tren budaya yang beragam di suatu saat dan yang bertentangan di saat yang lain.29
Wilayah ini memiliki warisan bersejarah. Dari segi ilmiah, penduduknya memiliki kesiapan tinggi dalam mengkaji dan menalar, ditambah lagi hijrahnya para ulama ke wilayah ini, khususnya ke Baghdad, sesudah dijadikan oleh khilafah Abbasiyah sebagai basis pemerintahan, tak pelak Irak bertambah kuat dan strategis.
Ketika itu, di Irak terdapat banyak perbudakan. Tren nyanyian berkembang dan sebagian orang menjadikannya sebagai sarana untuk minum-minuman keras. Masyarakat muslim masa itu telah dihadapkan pada berbagai permasalahan yang amat kompleks yang membutuhkan lembaga-lembaga yang menangani bidang masing-masing. Butuh adanya penanganan secara islami dan pedoman tehadap batasan hak dan kewajiban antara pemimpin dan rakyat. Tak mengherankan jika Irak didominasi oleh mazhab ahli ra‟yi, tak mengherankan pula jika kita jumpai bahwa pemikiran Abu Hanifah terpengaruh oleh berbagai kondisi masyarakat ini, yakni pemikiran yang cenderung rasionalis.
Disamping menganut aliran rasional, Abu Hanifah dikenal sangat wara‟ dan takwa. Ia sering melakukan pengembaraan untuk memperoleh hadits. Ketika ia berumur 16 tahun, yaitu pada tahun 96 H, Abu Hanifah pergi haji bersama ayahnya dan bertemu dengan Abdullah bin Harits az-Zubaidi.
Dari ulama ahli hadits ini ia meriwayatkan sabda nabi SAW: “Barang siapa mendalami agama (tafaqqahu), maka Allah akan mencukupkan segala kebutuhannya dan memberinya rizki secara yang tidak disangka.” Karenanya, tidak benar dakwaan sementara orang yang menuduh Abu Hanifah tidak meriwayatkan hadits, kecuali tujuh belas hadits saja. Dalam riwayat yang mu‟tabar disebutkan bahwa Abu Hanifah meriwayatkan sendiri sebanyak 215 Hadits selain hadits-hadits yang juga diriwayatkan oleh para imam yang lain. Abu Muayyid Muhammad bin Mahmud al-Khawarizmi (wafat tahun 226 H), mengumpulkan musnad Abu Hanifah setebal 800 halaman yang diterbitkan di Mesir 1326 H.31
2.1.3 Kepribadian dan Sifat-sifatnya
Abu Hanifah dikenal jujur dan tidak suka banyak omong, akrab dengan sahabat-sahabatnya dan tidak suka membicarakan keburukan orang lain. Ia bekerja sebagai penjual kain dan hidup dari hasil kerjanya sendiri. Ia juga tidak menyukai pembicaran duniawi. Jika ditanya soal-soal agama, dengan suka-cita ia menguraikannya secara panjang lebar dan bersemangat. Ketika Sufyan ats-Tsauri ditanya tentang ketidaksukaan Abu Hanifah menggunjing orang, ia mengatakan: “Akalnya lebih cerdik untuk dapat dipengaruhi hal-hal yang menghapuskan kebaikan-kebaikannya”.
Tentang ke-wara-an Abu Hanifah, ia menolak jabatan hakim (qadhi) pada masa pemerintahan bani Umayyah dan Abbasiyah. Yazid bin Hubairah, gubernur Irak pada pemerintahan bani Umayyah, menyiksanya karena tetap menolak menjadi hakim. Pada pemerintahan Abu Ja‟far al-Mansur, khalifah kedua dari Bani Abbas, ia dipanggil untuk pindah ke Baghdad. Saat itu al-Mansur memaksa dan bahkan bersumpah agar Abu Hanifah menerima untuk diangkat sebagai hakim, tetapi ia juga bersumpah untuk tidak menerima jabatan selamanya.
Abu Hanifah begitu sadar bahwa masa depan fiqh harus bebas dari kekangan penguasa. Sebab hanya dengan menghindari ikatan-ikatan kedudukan ia dapat leluasa mengembangkan kajian-kajian fiqhiyah. Itulah sebabnya Abu Hanifah memperjuangkan kebebasan berpendapat dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Demikianlah dalam diri Abu Hanifah berkumpul ilmu orang rasionalis yang paling masyhur dan ilmu seorang wara‟ yang paling wara‟.
2.1.4 Pengembaraan Menuntut Ilmu
Abu Hanifah belajar fiqh dan Hadits dari Hammad selain dari Ibrahim an-Nakha‟i dan asy-Sya‟bi. Tapi masa belajarnya dengan an-Nakha‟i dan asy-Sya‟bi tidak selama dari Hammad. Abu Hanifah belajar dari Hammad selama 22 tahun. Setelah berumur 40 tahun, beliau pisah untuk mengakar sendiri di Masjid Kufah.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Abu Hanifah berkata kepada Abu Mansur tentang bagaimana ia mempelajari fiqh. “Ibrahim meriwayatkan dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas‟ud dan Abdullah bin Abbas, Mansur berkata, “Wah, kamu telah membekali dirimu wahai Abu Hanifah, sesuai dengan keinginanmu, dari orang-orang yang suci, bersih dan diberkahi.
Abu Hanifah dikenal memiliki banyak ilmu syariah dan bahasa Arab. Dari dia sendiri diriwayatkan beberapa wajah bacaan al-Qur‟an. Keahliannya dalam fiqh mendapatkan kesaksian dan pujian-pujian dari ulama salaf terhadap Abu Hanifah, diantaranya; Imam Syafi‟i berkata, “Semua orang dalam ilmu fiqh menginduk kepada Abu Hanifah.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa yang ingin mengerti tentang fiqh maka hendaklah belajar kepada Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, sebab semua orang dalam masalah fiqh menginduk kepadanya.”
Termasuk contoh-contoh yang menunjukkan penghormatan ulama salaf kepada Abu Hanifah adalah bahwa ketika saudara Sufyan ats-Tsauri meninggal dunia, orang-orang datang berziarah. Abu Hanifah pun datang ber-ta‟ziyah. Sufyan berdiri menghormati beliau, lalu mempersilakan duduk di tempatnya dan dia duduk di belakang Abu Hanifah.
Abu Yusuf, salah satu sahabat utama Abu Hanifah, mengatakan: “Saya tidak pernah melihat orang yang lebih ahli dalam menafsirkan hadits selain Abu Hanifah. Ia sangat cermat dan kritis dalam menilai kesahihan suatu hadits.”
2.1.5 Murid-Murid Imam Abu Hanifah
Diantara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal yang kemudian menjadi ulama besar yaitu;
Pertama, Abu Yusuf Ya‟qub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari al-Kufi yang lahir pada tahun 113 H dan meninggal pada tahun 182 H. Untuk pertama kali, Abu Yusuf belajar kepada ibn Abi Laila selama 9 tahun. Selanjutnya ia berguru kepada Abu Hanifah sehingga jadilah Abu Yusuf seorang faqih, ulama dan hafiz (ahli hadits). Ia sempat menjabat qadhi atau hakim dalam beberapa masa kekhalifahan Abbasiyah. Ia menulis banyak kitab tentang masalah-masalah ibadah, jual beli, hudud (hukum pidana) dan lainnya. Kitabnya yang paling terkenal adalah “al-Kharaj” yang ditulis atas permintaan khalifah ar-Rasyid. Kitab ini dianggap sebagai referensi utama Ekonomi Islam. Kitabnya yang lain adalah “al-Atsar” dan “al-Raad ala Sairi al-Auza‟i fi ma Mahala fihi Abu Hanifah” dan lainnya.
Kedua, Abu Abdillah Muhammad bin Hasan asy-Syaibani yang lahir pada tahun 132 H dan meninggal pada tahun 189 H. Ia cukup lama belajar dengan Abu Hanifah. Ketika Abu Hanifah meninggal dunia, asy-Syaibani baru berumur 20 tahun. Ini menunjukkan bahwa beliau menuntut ilmu dan faqih sejak usia belia. Asy-Syaibani ahli dalam pemecahan istilah dan ilmu berhitung. Ia konsisten dengan pekerjaan menulis dan menghasilkan banyak kitab, diantaranya, al-Mabsuth, az-Ziyadat, al-Jami‟ al-Kabir, al-Jami‟ as-Shagir, as-Sair al-Kabir, as-Sair as-Shagir, ar-Rad ala ahli al-Madinah dan lainnya.
Ketiga, Zufar bin Huzail yang lahir pada tahun 10 H dan meninggal pada tahun 158 H. Zufar lebih dulu belajar kepada Abu Hanifah baru kemudian kepada Abu Yusuf dan asy-Syaibani. Ia tergolong seorang murid yang terkenal ahli qiyas. Ia seorang yang baik pendapat-pendapatnya dan pandai mengupas tentang soal-soal keagamaan serta ahli ibadah. Zufar pernah menjabat hakim di Bashrah. Pada mulanya, banyak ulama yang benci dan berburuk sangka kepada Abu Hanifah. Zufar lalu menerangkan dan menjelaskan kepada mereka secara menakjubkan sehingga mereka simpati kepadanya. Ia melakukan hal ini secara kontinyu. Akhirnya banyak orang-orang yang dulu benci menjadi suka kepada Abu Hanifah.
Keempat, Hasan bin Ziyad al-Lu‟luiy al-Kuti yang meninggal dunia pada tahun 204 H. Ia sangat terkenal dalam meriwayatkan hadits. Ia adalah murid sekaligus sahabat Abu Hanifah. Ia menjabat qadhi di Kufah pada tahun 194 H dan menulis beberapa kitab antara lain, Aadab al-Qadhi, al-Khishal, Ma‟ani al-Iman, an-Nafaqat, al-Kharraj, al-Faraidh, al-Washaya, al-Mujarraddan al-Amali.
2.1.6 Pemikiran Abu Hanifah
Pemikiran-pemikiran Abu Hanifah dalam bidang fiqh, diantaranya:
Pertama, mempermudah dalam hal urusan ibadah dan muamalah. Misalnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa jika badan atau pakaian terkena najis, maka boleh dibasuh dengan barang cair yang suci, seperti air bunga mawar, cuka, dan tidak terbatas pada air saja. Dalam hal zakat, Abu Hanifah membolehkan zakat dengan nilai (uang) sesuai dengan banyaknya kadar zakat.
Kedua, berpihak pada yang fakir dan lemah. Contohnya, Abu Hanifah mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak, sehingga zakat itu dikumpulkan untuk kemaslahatan orang-orang fakir. Abu Hanifah berpendapat, orang yang punya utang tidak wajib membayar zakat jika utangnya itu lebih banyak dari uangnya. Ini menunjukkan belas kasihnya kepada orang yang punya utang.
Ketiga, pembenaran atas tindakan manusia sesuai dengan kadar kemampuannya. Abu Hanifah berusaha menjadikan amal manusia itu benar dan diterima selagi memenuhi syarat-syaratnya. Contohnya ia berpendapat bahwa Islamnya anak kecil yang berakal tapi belum baligh dianggap sebagai Islam yang benar seperti halnya orang dewasa.
Keempat, menjaga kehormatan manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya. Karena itu Abu Hanifah tidak mensyaratkan wali nikah bagi perempuan yang baligh dan dewasa atas orang yang dicintai, baginya hak untuk menikahkan diri sendiri dan nikahnya sah.
Kelima, kendali pemerintah di tangan seorang imam (penguasa). Karena itu, kewajiban seorang imam (pemimpin secara syariat) untuk mengatur kekayaan umat Islam yang membentang luas di atas bumi untuk kemaslahatan umat. Kewajiban lainnya adalah pengaturan kepemilikan tanah mati (bebas) bagi yang mengolahnya yaitu menjadikannya lahan siap pakai.
Kaidah-kaidah brilian dan selaras inilah yang membuat Abu Hanifah layak mendapatkan gelar “Imam Ahlu ar-Ra‟yi”. Ini tidak berlebihan, karena beliau telah berjuang dan berusaha keras menggunakan qiyas pada hukum-hukum yang tidak ada dasarnya dalam nash. Selain itu, Abu Hanifah juga menguasai ilmu ber-istimbath (menggali hukum) dari hadits, sehingga dapat mengambil intisari yang bermanfaat bagi umat, dan tidak bertentangan dengan nashnya.
Pendapat Imam Abu Hanifah yang berkaitan dengan fiqh lainnya yaitu, bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan kedudukan „ariyah (pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan di-hibah-kan wakif kepadayang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat dan wakaf yang diikrarkan. Secara tegas wakaf itu terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal dunia.
Bahwa perempuan boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya, karena perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu menurutnya, perempuan hanya boleh jadi hakim yang menangani perkara perdata. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakannya adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hakim perempuan sebagai al-Far‟i.
2.1.7 Karya-Karya Abu Hanifah
Perlu diketahui bahwa Abu Hanifah tidak pernah menulis kitab tentang mazhabnya. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa Abu Hanifah tidak menulis kitab secara langsung kecuali beberapa “risalah” kecil yang dinisbahkan kepadanya, seperti risalah yang dinamakan al-Fiqh al-Akbar dan al-Alim wa al-Muta‟alim. Walau demikian mazhabnya sangat populer dan tersebar luas. Ini karena hasil perjuangan murid-murid Abu Hanifah dalam mengembangkan dan menyebarluaskan pemikirannya terutama pada istimbath yang ia rumuskan.
Diceritakan bahwa Imam Abu Yusuf merupakan orang yang pertama menulis beberapa buku berdasarkan mazhab Hanafi dan menyebarkannya ke berbagai daerah untuk dipelajari. Demikian pula halnya dengan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani banyak menimba ilmu dari Abu Hanifah dan menyebarkan pemikiran-pemikiran beliau melalui karya-karyanya. Dari sejumlah sumber, menyebutkan bahwa Abu Hanifah sendiri tidak meninggalkan karya atau buku yang ditulisnya langsung, kecuali apa yang dinukil oleh para murid beliau.
Abu Zahrah, menceritakan bahwa penulisan di bidang ushul fiqh untuk pertama kali disusun oleh murid Imam Abu Hanifah. Hal senada juga disebutkan oleh pengikut dan para muridnya. Diantara murid Abu Hanifah yang paling terkenal dan merupakan orang yang pertama menulis buku ushul fiqh berdasarkan pandangan Abu Hanifah adalah Imam Abu Yusuf (w. 182 H). Dan karya Abu Yusuf ini pada akhirnya menjadi pegangan mazhab Hanafi, dalam ushul fiqh.
Menurut penuturan Imam Nadim sebagaimana dikutip oleh Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, bahwa Abu Yusuf dan Zufar adalah dua orang murid yang sangat berjasa dalam merumuskan dan mengembangkan pemikiran Abu Hanifah dan mazhab ushul Hanafi. Abu Yusuf sendiri banyak menghasilkan karya-karya yang didasarkan kepada mazhab Hanafi, seperti kitab az-Zakah, as-Shiyam, al-Faraidh, al-Hudud, al-Kharaj dan al-Jami‟. Dan diantara karya Abu Yusuf yang terkenal adalah kitab al-Kharaj.
Selain Abu Yusuf dan Zufar, Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani juga salah seorang murid Abu Hanifah yang terkenal dan berjasa dalam mengembangkan mazhab Hanafi. Ibn Hasan mengikuti cara-cara istimbath yang telah dirintis oleh Abu Yusuf berdasarkan pemikiran Abu Hanifah.
Menurut riwayat, bahwa para ulama Hanafiyah (yang bermazhab Hanafi) telah membagi-bagi masalah fiqh Hanafiyah menjadi tiga tingkatan, yakni; pertama, masail al-Ushul, kedua, masail an-Nawadhir dan ketiga, al-Fatawa wa al- waqi‟at.
Pertama, masail al-Ushul yaitu masalah-masalah yang termasuk zhahir ar-Riwayah, yaitu pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dan sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar. Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani telah mengumpulkan pendapat-pendapat tersebut yang kemudian disusun dalam kitab yang bernilai tinggi, Zahir ar-Riwayah.
Kitab-kitab yang termasuk Zahir ar-Riwayah ada enam buah, yaitu (1) al-Mabsuth atau al-Ashl, (2) al-Jami‟ al-Kabir, (3) al-Jami‟ ash-Shagir, (4) as-Siyar al-Kabir, (5) as-Siyar ash-Shagir, dan (6) az-Ziyadat. Keenam kitab tersebut kemudian disusun oleh Hakim asy-Syahid menjadi satu kitab yang diberi nama al-Kafi. Kitab ini dikomentari atau diberi syarah oleh Syamsu ad-dhin asy-Syarkhasyi dan dikenal dengan nama al-Mabsuth.
Kedua, masail An-Nawadir yaitu pendapat-pendapat yang diriwayatkan Abu Hanifah dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam kitab yang termasuk Zahir ar-Riwayah. Adapun kitab-kitab terkenal yang termasuk an-Nawadir adalah al-Kaisaniyyat, ar-Ruqayyat, al-Haruniyyat, al-Jurjaniyyat dan Badai‟ ash-Shanai‟ fi Tartib asy-Syarai‟.
Ketiga, al-Fatawa wa al-Waqi‟at yaitu yang berisi masalah-masalah keagamaan yang dari istimbath-nya para mujtahid yang bermazhab Imam Hanafi yang datang kemudian, pada waktu mereka ditanyai tentang masalah hukum-hukum keagamaan, padahal mereka tidak dapat menjawabnya, lantaran dalam kitab-kitab mazhabnya terdahulu tidak didapati keterangannya, kemudian mereka berijtihad guna menjawabnya. Adapun tentang kitab al-Fatawa wa al-Waqi‟at yang pertama kali ialah kitab an-Nawazil karya Abi al-Laits as-Samarqandi.
Kitab-kitab yang terkenal susunan ulama Hanafiah mutaakkhirin diantaranya adalah; jami‟ al-Fushulain, Dharar al-Hukkam, Multaqa al-Akhbar, Majmu‟ al-Anshar dan Radd al-Mukhtar „ala Dhar al-Mukhtar yang tekenal dengan hasSelain kitab-kitab fiqh, dalam aliran Hanafi terdapat kitab ushul al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqhiyah. Kitab-kitab ushul al-fiqh dalam aliran Hanafi adalah (1) ushul al-Fiqh karya Abu Zaid ad-Duyusi (w.430 H); (2) ushul al-Fiqh karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 430 H); dan (3) ushul al-Fiqh karya an-Nasafi (w. 790 H) dan syarah-nya Misykat al-Anwar.
Selain kitab fiqh dan ushul al-Fiqh, ulama Hanafiah juga membangun kaidah-kaidah fiqh yang kemudian disusun dalam kitab tersendiri. Diantara kitab qawaid al-Fiqhiyyah aliran Hanafi yaitu, Ushul al-Karkhi karya al-Karkhi (260-340 H), Ta‟ziz an-Nazhar karya Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H), Al-Asybah wa an-Nazha‟ir karya ibn Nujaim (w. 970 H), Majami‟ al-Haqaiq karya Abu Said al-Khadimi (w. 1176 H), Majallah al-Ahkam al-Adhiyyah (Turki Usmani, w. 1292 H), Al-Fawaid al-Bahiyyah fi Qawaid wa al-Fawaid karya ibn Hamzah (w. 1305 H) dan Qawaid al-Fiqh karya Mujaddidi.
2.1.8 Ketokohan Imam Abu Hanifah
Menurut riwayat yang telah banyak diriwayatkan oleh sebagian ulama ahli hadits bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda; “ Jika sekiranya ilmu pengetahuan itu tergantung di bintang tsuraya niscaya akan dicapai oleh beberapa orang dari keturunan bagsa Persia”. Berhubung dengan adanya hadits ini, diantara para ulama ada yang memberi keterangan bahwa hadits ini mengandung basyirah (berita gembira) dari Nabi SAW. Yang dimaksud dengan kata-kata “beberapa orang dari keturunan bangsa Persia” itu antara lain ialah yang mulia Imam Abu Hanifah. Karena beliau itu adalah seorang dari keturunan bangsa Persia dan beliaupun di kala hayatnya tidak ada seorangpun yang dapat membandingi tentang ilmu pengetahuannya, kecerdasan fikirannya, keluhuran budinya dan keteguhan jiwanya.
Sepanjang riwayat, bahwa mazhab Hanafi dikembangkan oleh sahabat yang sekaligus murid beliau, diantaranya Imam Abu Yusuf dan Imam Zufar. Pada masa pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid menjabat kepala negara bagi dunia Islam, beliau menyerahkan urusan kehakiman kepada Imam Abu Yusuf. Maka segenap urusan kehakiman dalam kerajaan ar-Rasyid ada di tangan kekuasaannya.
Urusan resmi di tiap-tiap kota pada masa itu, seperti Iraq, Khurasan, Syam, Mesir bahkan sampai ke Tapal batas Afrika beliau serahkan kepada orang yang dipercayainya. Beliau tidak menyerahkan jabatan itu, melainkan kepada orang yang menjadi sahabatnya dan yang sependirian dengan mazhabnya (mazhab Hanafi).
Dengan terpilihnya Imam Abu Yusuf menjadi qadli, maka segenap qadli dan hakim di segenap daerah dan kota di kala itu pada umumnya yang terdiri dari para ulama‟ yang bermazhab Hanafi menjadi gemar mempelajari kitab-kitab yang beraliran Hanafi, karena ingin mendapat kedudukan atau pangkat. Demikianlah permulaan tersiarnya aliran mazhab Imam Abu Hanifah.
Selanjutnya mazhab Imam Hanafi baru dikenal orang Mesir sesudah tahun 164 H. Karena di kala itu telah diangkat oleh kepala negara al-Mahdi seorang qadli yang bermazhab Hanafi yang mula-mula menyiarkan mazhab Hanafi di Mesir. Terutama selama pemerintahan Islam ada di tangan para kepala negara dari keturunan Abbasiyah, makin berkembanglah mazhab ini di Mesir sampai tahun 358 M.
Tatkala Mesir berada di tangan kekuasaan para raja keturunan Fatimiyyah. Dibawa pula ke sana aliran mazhab mereka yaitu mazhab Syi‟ah al-Ismailiyyah. Tidak saja mazhab ini tersiar di sana karenanya, tetapi kedudukan qadli dipengaruhi juga oleh mazhab itu. Bahkan mazhab Syi‟ah pernah menjadi mazhab pemerintahan dengan resmi.
Setelah pemerintahan Mesir jatuh ke tangan al-Ayyubi, mereka menindas dan mengikis habis mazhab itu. Kemudian kerajaan al-Ayyubi mendirikan sekolah-sekolah untuk mencetak ulama‟ di masa mendatang yang mengikuti mazhab Syafi‟i dan Maliki. Sultan Salahuddin al-Ayyubi juga mendirikan sekolah untuk memberikan pengajaran mazhab Hanafi. Sejak saat itu mazhab Hanafi mendapat kekuatan kembali untuk berkembang di tengah-tengah Mesir. Pada tahun 641 H Sultan Saleh Najmuddin mendirikan madrasah yang dinamakan madrasah as-Shalihiyyah. Dalam madrasah ini diberikan pengajaran-pengajaran mazhab empat yang masyhur, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali sebagai tindakan pembalasan untuk membasmi aliran-aliran mazhab yang lain.
Pada umumnya penduduk di Afrika (Algeria, Tunisia dan Tripoli) adalah pengikut mazhab Hanafi yang dibawa oleh Ibnu Farukh Abu Muhammad al-Farisi. Kemudian ia menyerahkan urusan kehakiman kepada Assad bin Farrat bin Sinan yang dapat mengembangkan aliran mazhab Hanafi di sana. Demikian sehingga datang kesana al- Mu‟iz bin Badis dengan membawa aliran mazhab Maliki lalu dapat menarik sebagian besar penduduknya untuk memeluk mazhab Maliki. Namun masih ada sebagian kecil dari mereka yang masih tetap menganut mazhab Hanafi.
Keluarga raja di Tunisia adalah pengikut mazhab Hanafi. Urusan kehakiman di sana diserahkan kepada dua qadli yang beraliran Hanafi dan Maliki. Demikian pula mufti besar di sana juga ada dua, yaitu yang bermazhab Hanafi dan yang bermazhab Maliki. Tetapi yang bertanggung jawab keseluruhannya ialah yang bermazhab Hanafi.
Sepanjang riwayat setelah Mesir jatuh ke tangan kekuasaan bangsa Turki, maka kedudukan qadli dan urusan kehakiman diserahkan kepada ulama yang bermazhab Hanafi. Karena mazhab Hanafi menjadi mazhab resmi bagi pihak kerajaan Usmaniyyah dan bagi segenap pembesar negara. Dengan demikian bahwa sebagian besar pendudu Mesir terpengaruh oleh mazhab Hanafi dengan tujuan agar mudah mendapatkan kedudukan qadli atau hakim. Sekalipun demikian nama mazhab Hanafi tidaklah begitu tersiar ke dusun-dusun dan ke hulu-hulu Mesir tetapi terbatas di dalam kota saja. Kebanyakan penduduk Dusun dan Hulu daerah Mesir tetap bermazhab Syafi‟i.
Selanjutnya mazhab Hanafi tersiar dan berkembang di negeri-negeri Syam, Iraq, India, Afganistan, Kaukasus, Turki dan Balkan negeri-negeri yang lain . Demikianlah diantara riwayat tersiarnya mazhab Imam Hanafi di dunia ini.
2.1.9 Wafatnya Imam Abu Hanifah
Beliau pernah dipukul pemerintah karena menolak permintaan Gubernur untuk menjadi hakim. Beliau meninggal di Baghdad, tahun 150 H, dalam usia 70 tahun. Semoga Allah merahmati Imam Abu Hanifah.
BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Nama lengkap Imam Abu Hanifah adalah al-Nu’man ibn Tsabit ibn al-Zutha al-Farisi, dilahirkan di Kufah pada 80 Hijriah. Beliau salah satu dari keempat tokoh Madzahibul al-Arba’ah termasyhur dan berkembang di dunia islam. Masa kecil Abu Hanifah berbeda dengan ketiga Imam fikih lainnya yaitu Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Pasalnya ketiganya memulai menimba ilmu sejak usia dini, sedangkan Abu Hanifah tidak demikian. Ketika kecil beliau berprofesi sebagai pedagang dan sering berlalu lalang, pulang pergi kepasar untuk membiayai kehidupan keluarga.
Abu Hanifah muda juga pandai memanajemen waktu yang dimilikinya. Terlihat jelas ketika beliau mendapati waktu luang disela-sela kesibukannya berdagang, tak sedikitpun beliau menyia-nyiakannya untuk bersantai, melainkan lebih memilih untuk menceburkan diri berkecipung dalam kawah ilmu pengetahuan.
Pemikiran beliaupun mulai tergugah dan terbentuk dalam satu paradigma yang kuat, ketika beliau menaruh perhatian besar pada ilmu pengetahuan dan berbagai pendapat peninggalan para sahabat Irak. Hingga menjadikan beliau berani berdialog dan berdebat dengan penganut agama dan aliran yang berbeda.
Beliau memiliki konsep yang jelas dalam pengambilan hukum agama dari sumber-sumbernya. Dalam Tarikh Baghdad disebutkan sebuah pernyataan dari Abu Hanifah mengenai konsep yang digunakannya, yakni “Aku merujuk kitab Allah. Bila aku tidak menemukan (dasar hukum) didalamnya, aku akan merujuk sunnah. Bila di dalam keduanya aku juga tidak menemukan, aku akan merujuk perkataan para sahabat; aku akan memilih pendapat siapa saja dari mereka yang ku kehendaki, aku tidak akan pindah dari satu pendapat ke pendapat sahabat yang lain. Apabia didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, ibnu Sirrin, al-Hasan, al-Atha’, Sa’id ibnu Musayyab, dan sejumlah seorang yang lainnya, dan mereka semua sudah berijtihad, maka aku akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.
Imam Abu Hanifah, selain terkenal kewira’iannya dalam mengambil keputusan, beliau juga dikenal sebagai pelopor pertama dalam menyusun kitab fikih secara kelompok-kelompok dalam pengklarifikasiannya. Diawali dari bab bersuci (taharah) kemudian disusul shalat dan seterusnya. Hingga pada generasi ulama berikutnya metode ini diikuti oleh ulama-ulama yang sangat familiar, seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan ulama lainnya.
Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang melakukan shalat Shubuh dengan wudhu shalat 'Isya selama empat puluh tahun, tidak pernah sekal pun ia meninggalkan kebiasaan itu. Demikian juga, ia dikenal sebagai orang yang menghatamkan al-Qur'an di satu tempat di mana ia meninggal sebanyak 7000 kali. Imam Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 150H/ 767M ketika berusia 70 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman.2007. Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika.
Djazuli, A. 2007. Kaidah-Kaidah Fiqh : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana.
Hery Sucipto. 2003. Ensiklopedi Tokoh Islam (Dari Abu Bakar sampai Nashr dan Qardhawi). Jakarta: PT Mizan Pustaka/
Muhammad Jawad Mughniyah. 2006. Fikih Lima Madzhab. Terjemahan oleh, Masykur A.B. dkk. Jakarta: Penerbit Lentera.
Suwaidan , Dr Tariq. 2013. Biografi Imam Abu Hanifah. Jakarta: Zaman.
Zahrah, Muhammad Abu . 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
0 Response to "[MAKALAH] Pembahasan Lengkap Tentang Biografi Imam Abu Hanifah"
Post a Comment