Pembahasan Lengkap Tentang AL-AHKAM (Hukum-hukum dalam Konteks Ushul Fiqih)
Saturday, December 31, 2016
Add Comment
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Membahas tentang hukum tentu akan kita temukan banyak sekali hukum-hukum yang didalamnya mengatur secara khusus hal-hal yang berkaitan dengan hukum tersebut. Seperti adanya KUHP yang mengatur tentang hukum pidana. Dalam keseharian kita sebagai seorang muslim tentunya terdapat hukum-hukum yang juga mengatur tata cara kita dalam menjalakan suatu amaliyah.
Dalam agama Islam sendiri terdapat beberapa ilmu yang di dalamnya juga mempunyai aturan-aturan khusus terkait bidang tersebut. Dalam ilmu tajwid misalnya, hukum-hukumnya adalah mengenai tata cara membaca al-quran. Tak terkecuali dengan ilmu ushul fiqih.
Bedasarkan hal tersebut pemakalah bermaksud untuk memaparkan maksud atau arti hukum (al-hakam) dalam konteks ilmu ushul fiqih. Dengan harapan dapat memberikan pemahaman kepada para pembaca khusunya kepada pemakalah sendiri untuk memahami arti khusus al-hakam dalam ushul fiqih.
Dalam pembahasan ini akan dipaparkan tentang pengertian al-hakam, macam-macamnya dan unsur-unsur yang terkandung di dalamya. Semoga dengan penyajian makalah ini dapat menambah keilmuan kita dengan harapan agar dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga mendapatkan ilmu yang manfaat.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al - Ahkam Dalam Ushul Fiqih
Al-ahkam (الأحكم) maknanya dilihat dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari kata hukmun (حكمٌ) yang artinya keputusan / ketetapan. Sedangkan menurut istilah dalam ushul fiqih yaitu
ما اْقتضاهُ خِطابُ االشرع المُتعلِّق بِأَفْعال المُكَلَّفِين من طلبٍ أوتخيير أووضع
"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan" 1
Dalam hal ini yang dimaksud dengan خِطاب االشرع (seruan syariat) adalah Al Quran dan As Sunnah.
Dari pengertian diatas terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-Ahkam
1. Tuntunan طَلَبٍ.
Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntunan melakukan sesuatu (perintah) atau pun tuntunan untuk meninggalkan sesuatu (larangan) baik itu berupa keharusan (wajib) ataupun hanya keutamaan
2. Pilihan تخيِيْر .
Sesuatu hal yang dalam melakukan ataupun meninggalkannya tidak ada suatu ketentuan syara’ yang mengatur maka akan menjadi suatu kebebasan untuk memilih melakukan ataupun tidak atau sering disebut mubah
3. Peletakan وضع
Wadh’i adalah suatu hal yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda, atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan. Seperti suatu ibadah dapat dikatakan “sah” atau “batal”
Menambahkan sedikit dari pemaparan di atas, al-ahkam dalam bahasan ilmu ushul fiqih adalah hukum-hukum yang hanya terkait dengan amalan manusia yang bersifat dhohir. Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau sabda Rasulullah SAW. Apabila disebut syara’ maka yang dikehendaki adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlak.2 Jadi, tidak termasuk bahasan al-hakam dalam ushul fiqih hukum-hukum yang bersifat bathiniyah seperti hukum aqidah dan akhlaq.
B. Pembagian Al-Ahkam
Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua macam.
1. Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)
2. Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum wadh’iyah)
I. Al-Ahkam at-Taklifiyyah
Al-Ahkam at-Taklifiyyah dibagi menjadi lima yaitu Wajib, Mandub (Sunnah), Harom, Makruh, dan Mubah.
1. Wajib. Makna wajib dilihat dari segi bahasa adalah "yang jatuh dan harus" dan makna wajib menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
ما أمربِهِ الشارعُ على وجهِ الإِ لزام
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentuk keharusan" 3.
Hukum wajib dibagi menjadi beberapa macam dilihat dari berbagai aspek yaitu:
1) Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib ada 2 macam, yaitu
a) Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan berakhirnya waktu sudah ditentukan.
b) Wajib muwassa’, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban memmpunyai waktu yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk melakukan sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.
c) Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.
d) Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang melanggar sumpah.
2) Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai berikut.
a) Wajib ‘Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap mukallaf. Seperti : shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.
b) Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian mukallaf (boleh diwakili oleh kelompok tertentu).
Contoh : mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.
3) Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.
Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.
b) Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan kadarnya.
Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.
4) Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis perbuatannya.
Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.
b) Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa pilihan.
Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin
2. Mandub. Makna mandub dilihat dari segi bahasa adalah "yang diseru" dan makna mandub menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
ماأمربِهِ الشرع لا على وجه الإلزام
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan”4
Mandub secara mayoritas kita kenal dengan istilah sunnah, selain sunnah terdapat beberapa istilah lain dalam ushul fiqih yaitu nafilah, tathawwu’, mustahab, dan ihsan.
Mandub (sunnah) di bagi menjadi dua yaitu,
1. Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat dianjurkan (sangat penting)
2. Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang dianjurkan).
3. Haram. Makna haram dilihat dari segi bahasa adalah "yang dilarang" dan makna haram menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
ما نهى عنهُ الشا رع على وجه الإلزام بِالتَّرك
"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan".
4. Makruh. Makna makruh dilihat dari segi bahasa adalah "yang dimurkai" dan makna makruh menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
ما نهى عنهُ الشارع لا على وجه الإلزام بِالتَّرك
"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan".
5. Mubah. Makna mubah dilihat dari segi bahasa adalah "yang diumumkan dan dizinkan denganya" dan makna mubah menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
ما لا يتعلَّق به أمرٌ, ولا نهيٌ لِذاتهِ
"sesuatu yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secara asalnya".
II. Al-Ahkam al-Wadh’iyyah
1) Sebab. Yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.
2) Syarat. yaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya hukum bergantung kepadanya
3) Azimah, yaitu hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu. Misalnya, puasa wajib pada bulan Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari semalam dan lain sebagainya.
4) Rukhsoh, yaitu peraturan tambahan yang ditetapkan Allah SWT sebagai keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan mukallaf sebagai pengecualian dari hukum-hukum yang pokok.
Pembagian Rukhsah Rukhsah terbagi menjadi 4 macam.
a) Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Hal ini dilakukan karena dalam keadaan darurat. Contoh : “memakan bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, dalam Keadaan terpaksa memakannya sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas.
b) Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, apabila ada udzur yang bersifat dibolehkan secara syar’i.
c) Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak memenuhi syarat tetapi sudah biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli salam (jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu terjadi aqad jual beli / sistem pesanan).
d) Tidak berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang berlaku bagi umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Contoh : memotong bagian kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat ¼ dari jumlah harta, tidak boleh melakukan sholat selain di masjid.
5) Mani’ (Penghalang) Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang semestinya bisa diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.
Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai ahli waris. Akan tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi. Hal ini karena berlainan agama menjadi mani’ atau penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan harta peninggalan.
6) Sah
ما ترتّبت اثارُ فعْلهِ عليه عبادةً عقدًا
"apa-apa yang pengaruh perbuatannya berakibat padanya, baik itu ibadah ataupun akad."
7) Fasid
مالا ترتّبت اثارُ فعْلهِ عليه عبادةً عقدًا
"apa-apa yang pengaruh perbuatannya tidak berakibat kepadanya, baik itu ibadah atau akad."
C. Unsur-Unsur Hukum Islam
1. Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (مَحْكُوم بِهِ \ مَحْكُوم فِيْه ِ)
a. Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum fihi
المَحْكُومُ فِيْهِ : هُوَ الفِعْلُ الُمكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ اللهِ
“Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara’).”5 Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu:
1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram
4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.
b. Syarat-syarat Mahkum bihi
Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut.
a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.
b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak dan rasa taat kepada Allah SWT.
c) Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.
d) Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya, supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.
2. Mahkum ‘Alaih
a. Pengertian Mafkum ‘Alaih (مَحْكُوْم عَلَيْهِ)
Mahkum alaihi adalah orang mukallaf yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya, Allah SWT memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada orangtua, menjauhi zina, larangan minum-minuman keras. Perintah-perintah tersebut ditujukan kepada orang mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang yang terganggu pikirannya atau gila. Perintah dan larangan Allah SWT selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua hukum baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun hak-hak manusia tidak dibebankan kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.
b. Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf).
Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf) adalah :
1) Mukallaf adalah orang yang mampu memahami dalil taklif baik itu berupa nash Al-Qur’an atau As-Sunnah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
2) Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar dan pantas untuk menerima perintah tersebut.
3) Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah SWT dengan sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang tersebut selain sudah baligh juga dalam keadaan sehat akalnya.
Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
A. Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tapi tidak layak menerima kewajiban. Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin tersebut berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tapi ia tidak bisa menunaikan kewajiban. Ada kalanya mukallaf tidak sanggup mengerjakan hukum-hukum yang sudah dibebankan kepadanya. Keadaan yang menghalanginya menunaikan hak dan kewajiban yang sudah ditetapkannya ini disebut ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). Para ulama ushul fiqih menggolongkan ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). ini menjadi dua kelompok.
Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak bisa dihindari oleh mahkum alaih. Ia hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Misalnya, gila, kurang akal (idiot), lupa, tertidur, dan pingsan. Orang-orang yang terkena penghalang samawi seperti ini dihukumi sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan hak dan kewajiban.
Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, boros, dan sebagainya. Penghalang kasby dapat dihindari dengan usaha manusia itu sendiri.
B. Belum sempurna, ia dapat melaksanakan perintah Allah SWT tetapi belum mempunyai kewajiban, yaitu bagi anak-anak mumayyiz (anak yang sudah dapat membedakan baik dan buruk perbuatan) tetapi belum baligh.
C. Sempurna apabila sudah menerima hak dan layak baginya melakukan kewajiban, yaitu bagi orang yang sudah dewasa dan berakal sehat (mukallaf).
3. Hakim.
Al-Hakim ialah pihak yang menjatuhkan hukum atau ketetapan. Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa hakikat hukum syar'i itu ialah khithab Allah yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani' bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada perselisihan di antara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau sabda Rasulullah SAW. Apabila disebut syara’ maka yang dikehendaki adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlak. Jadi, tidak termasuk bahasan al-hakam dalam ushul fiqih hukum-hukum yang bersifat bathiniyah seperti hukum aqidah dan akhlaq.
Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua macam:
- Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)
- Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum wadh’iyah)
0 Response to "Pembahasan Lengkap Tentang AL-AHKAM (Hukum-hukum dalam Konteks Ushul Fiqih)"
Post a Comment