Safelink

Pembahasan Lengkap Tentang Ijtihad dan Ittiba'

Pembahasan Lengkap Tentang Ijtihad dan Ittiba'

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.

Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah ijtihad dan ittiba’. Keduanya memiliki arti yang berbeda dan maksudnya pun berbeda. Tetapi kedua-duanya sangat jelas diatur dalam Islam. Ittiba’ ini didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43 yang artinya :
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ijtihad, ,macam-macam ijtihad,serta kedudukan dan funsinya  ?
2.      Apa pengertian Ittiba’, hukum Ittiba’ dan pembagiannya ?

BAB II
PEMBAHASAN

IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut Arti asalnya adalah "bersungguh-sungguh". Atau "pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan  sesuatu yang sulit ." Atas dasar ini maka tidak  tepat  apabila  kata  "ijtihad"  dipergunakan   untuk melakukan sesuatu yang mudah/ ringan.
Sedangkan berdasarkan makna Terminlogi, para ulama ushul memandang bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kesungguhan dan kamantapan yang dimiliki seseorang ahli fiqh untuk menghasikan keyakinan tentang suatu hokum  sedangkan definisi lain dari ijtihad yaitu mencurahkan segenap usaha untuk sampai kepada hukum syar’a dari dalil tafsili yang termasuk dalil syar’i.
Menurut Hasbi Ash Shaddiqi Ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan Zan.
Sedangkan Al-Dahlawi menjelaskan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global kembali keempat macam dalil yaitu Kitab, Sunnah, Ijma' dan Qiyas.
Dan Imam Khomeini mengatakan juga Ijtihad adalah keahlian atau kemampuan yang dengannya dia dapat menarik kesimpulan hukum dari dalil-dalil.
Dari keterangan di atas bahwa ijtihad bukan perbuatan yang dilakukan sekedar membuka-buka kitab tafsir atau hadis lalu dengan mudah ditarik sebuah kesimpulan hukum. Sebaliknya, dalam ijtihad dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan dengan mencurahkan segenap kemampuan dan usaha untuk mendapatkan hukum-hukum syariat. Hal ini menunjukkan bahwa maslah ijtihad bukan perkara yang mudah, tetapi ijtihad juga harus diupayakan pada setiap generasi, agar ajaran Islam tetap dinamis, tidak stagnan dan siap memberikan solusi atas segala problematika kontemporer.

2. Dasar Hukum Ijtihad
Para fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nas. Kebolehan ini di isyaratkan antara lain (Q.S. Al-Baqarah: 149)
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya :Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari masjidil haram, apabila akan shalat, dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada.
Secara kodrati manusia mempunyai badan jasmani dan rohani. Badan rohani berfungsi untuk memhami apa yang dilihat oleh manusia dan dialami oleh akal pikiran sekaligus berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dialam raya ini. Walaupun tidak ada petunjuk dari agama, maka dengan akal itu manusia dapat memperoleh kebahagiaan hidup dan dapat berusaha menghindari bahaya.
Hadis lain juga yang mendukung akan persolan ini yaitu hadis nabi yang ketika mengutus Muadz bin Jabal menjadi Guburnur di Yaman, hadis ini tidak asing lagi bagi kita semua, “ Ketika itu Muads ditanya oleh Rasulullah : dengan apa engkau menentukan hukum, Muazd menjawab dengan kitab Allah, jawab Muadz, Rasulullah bertanya lagi kalau engakau tidak mendapat keterangan dari Al-Qur’an, Muadz menjawab saya mengambilnya dari sunnah Rasul, Rasulullah berkata lagi, kalau engakau tidak mendapi dari keterangan sunah Rasululah SAW, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa, Rasulullah menepuk Muadz bin Jabal menandakan persetujuannya.
Nabi sendiri memberikan kelonggaran dalam persolan agama, dengan cara ijtihad bahkan Nabi membrikan dorongan kepad mereka, jika ijtihad itu mengenai sasaran, maka orang yang berijtihad mendapat dua kebaikan dan apabila tidak, dia mendapat satu kebaikan.
Berdasarkan uraian tersebut maka para ulama membagi hukum ijtihad dalam tiga macam yaitu :
a. Wajib Ain, bagi seeorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum diketahui hukumnya, begitupula apabila peristiwa tersebut dia alami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b. Wajib kifayah, bagi seseorang yang diatanya tentang suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan aka hilang smentara masih ada mujtahid lain selain darinya.
c. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik di tanyakan maupun tidak.
Dengan demikian garis besar yang dapat ditarik dari keterangan tersebut adalah bahwa Ijtihad dan berijtihad hukumnya wajib bagi yang telah menenuhi kreteria-keriteria.

3. Macam-macam Ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam 2 bagian yaitu ijtihad fardi dan jami’i.
a. Ijtihad Fardi
Setiap ijtihad yang dilakukan oleh seorang / beberapa orang, tak ada keterangan bahwa seluruh mujtahid yang lain yang menyetujuinya, dinamakan ijtihad fardi. Itulah ijtihad yang dibenarkan rasul kepada Mu’adz dan itulah ijtihad yang ditekankan Umar kepada Abu Musa Al-Asy’ari kepada Syuraih. Umar mengatakan kepada Syuraih :

و ما لم يتبين لك فى ا لمسنة فا جتهد فيه ر ا يك.

Artinya :
“Dan apa yang tidak nyata kepada engkau, dalam as sunah, maka berijtihad dengan mempergunakan daya fikir engkau”.
b. Ijtihad Jama’i
Ijtihad terhadap sesuatu masalah ysang disepakati oleh semua mujtahid, itulah yang di katakan ijtihad jama’i.
“Semua ijtihad dalam suatu perkara yang di sepakati oleh semua mujtahid”
Dalam kaitan ini Umar pun mengataklan kepada Syuraikh : Yang artinya : “Dan bermusyawarahlah (tanya pendapat) orang-orang berilmu dan orang-orang saleh.”
Diriwayatkan oleh Muhaimin bin Mihram bahwasanya Abu Bakar dan Umar apabila menghadapi sesuatu hal yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, beliau mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan menanyakan pendapat mereka. Maka apabila mereka sepakat terhadap suatu pendapat, beliaupun memutuskan hal itu dengan pendapat tersebut. Maka hal itulah yang dikatakan ijtihad Jama’i.

4. Objek Ijtihad
Kaidah yang harus dipegang dengan seerat-eratnya oleh mujtahid ialah apabila suatu nash syar’i lagi qoth’i wurudnya dan dalalahnya, tak ada tempat melakukan ijtihad. Wajib diterapkan menurut keadannya, karena dia qoth’i wurudnya dan dalalahnya. Di antara ayat-ayat yang demikian, ialah ayat hukum yang mufassir dan ayat-ayat yang muhkam, seperti firman allah SWT, yang artinya :
“Wanita penzina dan laki-laki penzina, maka cambuklah masing-masingnya seratus kali”.

Tidak ada tempat berijtihad lagi tentang hukum menyiksa penzina dengan cambukan dan bilangan kali cambukan. Demikian pula tak ada ijtihad pada hukum-hukum siksa yang sudah diberi batas. Demikian pula sunah-sunah yang sudah mutawatir.
Adapun apabila nash itu dhanni wurudnya/ dalalahnya, maka itu yang menjadi objek ijtihad. Para mujtahid membahas kejadian yang tidak ada nashnya agar sampai pada pengetahuan hukum dari jalan qiyas atau istihsan atau istisbah atau ‘uruf atau masalah mursalah dan sebagainya. Al-Gazali menyatakan bahwa akal manusia hanya dapat menetapkan hukum mengenai kasus yang secara eksplisit tidak terdapat dalam wahyu.

5. Kedudukan Ijtihad
Dalam sejarah pemikiran islam, Ijtihad telah banyak digunakan. Ajaran Al-Qur’an dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad, dari ayat Al-Qur’an yang jumlahnya lebih kurang 500 ayat. Menurut perkiraan ulama yang berhubungan dengan akidah, ibadah, muamalah. Ayat-ayat tersebut, pada umumnya terbentuk teks-teks dasar tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya. Untuk itu ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui Al-Qur’an dan hadits yaitu para sahabat Nabi dan kemudian para ulama penjelasan oleh para sahabat dan para ulama tersebut diberikan melalui ijtihad. Jadi kedudukan ijtihad adalah sumber ke 3 sesudah al-Qur’an dan Hadits.

6. Fungsi Ijtihad
Telah diterangkan bahwa fiqih itu adalah segala hukum yang dipetik dari kitabullah dan sunah Rasul, dengan mempergunakan ijtihad maka menjadi pentinglah bagi kita membahas apakah fungsi ijtihad itu.
Oleh karena syariat islam itu adalah syariat yang berdasarkan illahi, dipetik dari dasar-dasar yang sudah terkenal, baik yang dinukilkan dari Nabi seperti Al-Qur’an dan As-Sunah, ataupun yang diwujudkan oleh akal seperti : Ijma’, qiyas, Istihsan, dan lain-lain. Kemudian menjadilah ijtihad itu sebagai jalan yang kita lalui untuk mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil itu dan jalan yang harus kita lalui untuk menentukan batasan yang dikehendaki oleh kebutuhan masyarakat.
Inilah sebabnya fungsi ijtihad itu menjadi penggerak yang sangat diperlukan, dalam sejarah perkembangan hukum syara’ yang menimpa masyarakat yang tidak diketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Salah seorang pemikir kontemporer Islam (Muhammad Iqbal) menyatakan bahwa Ijtihad merupakan “The Princple of Movement” daya gerak kemajuan Islam, dengan kata lain ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam.

7. Syarat-Syarat Berijtihad
Al Ghazali berpendapat seorang mujtahid harus memiliki dua syarat, pertama, hendaknya dia menguasai sumber-sumber syariat (kitab, sunnah, ijma' dan aqal). Kedua, hendaknya dia seorang yang adil dan menghindari kemaksiatan-kemaksiatan yang menggugurkan keadilan. Syarat kedua ini adalah syarat diterimanya fatwa si mujtahid, bukan syarat menjadi seorang mujtahid. Untuk lebih detailnya syarat-syarat ijtihad adalah sebagai berikut:
1. Menguasai bahasa arab dengan bagian-bagiannya, seperti tata bahasa arab (nahwu shorf), Balaghah (ma'ani, bayan dan badi') serta tradisi dan percakapan orang-orang arab, syarat ini diperlukan karena Al Qur an dan Hadist diucapkan dan ditulis dalam bahasa arab yang sangat tinggi dan indah.
2. Mengetahui asbabun nuzul ayat-ayat Al Qur an
3. Mengetahui ilmu mantiq (logika) sesuai yang dibutuhkan untuk memahami Al Qur an dan sunnah.
4. Mengetahui ilmu ushul fiqh (dasar-dasar hukum syariat). Ilmu ini membahas tentang apa saja yang harus diketahui atau dikuasai seorang mujtahid sebelum mengambil hukum dari Al Qur an dan sunnah, yang mencakup masalah umum, khusus, nasikh, mansukh, mutlaq. Dan juga bagaimana menangkap perintah Allah, apakah perintah itu wajib, atau tidak, dan larangan mengandung arti haram atau tidak.
5. Mengetahui ilmu rijal, yaitu yang membahas tentang biografi para perawi hadist. Yang menjadi fokusnya adalah mencari tahu tentang kejujuran dan ketakwaan para perawi hadist, karena hal ini berkaitan erat dengan kedudukan sebuah hadist, apakah shahih, hasan, dahaif dll.
6. Menguasai Ulum ul Hadist atau musthalahul hadist. Ucapan, perbuatan dan persetujuan (sunnah) Nabi SAW telah dicatat dalam beberapa kitab hadist dan jumlahnya mencapai ribuan.
7. Menguasai tafsir dan maksud-maksud Al Qur an.
Penguasaan prinsip-prinsip di atas adalah mutlak sifatnya, artinya tanpa penguasaan prinsip-prinsip itu tidak mungkin seseorang dapat mengambil hukum langsung dari Al Quran dan sunnah. Dalam dunia Syi'ah Ijtihad adalah fardu Kifayah, dan untuk menjadi Mujtahid seseorang diharuskan belajar melalui tahapan-tahapan tertentu, dan pada setiap tahapan harus mempelajari beberapa kitab ushul fiqh dengan baik dari yang paling sederhana sampai yang paling pelik.

8. Tingkatan-tingkatan Ijtihad
Sebagaiman yang dikatakan oleh Allamah Abdullah Darraz : “Ijtihad itu adalah mengeluarkan seluruh kemampuan dan memberikan segala kekuatan serta pikiran. Hal itu dilaksanakan adakala memperoleh hukum syari, adakala membuat penetapan yakni : menetapkan hukum atas tiap-tiap yang harus melaksanakannya seperti menetapkan kaidah segala yang dilarang, boleh terhadap segala perbuatan yang tidak dilarang syara’ kita mengerjakannya “ijtihad” untuk memperoleh hukum, yang hanya dapat dilaksanakan oleh ulama-ulama yang mempunyai keahlian sempurna untuk berijthad. Ijtihad menetapkan hukum seluruh orang yang tinggi ilmunya, dan dapat melakukannya..
Ringkasnya jihad itu dapat dibagi menjadi 2 tingkatan, yaitu :
- Ijtihad Darakil Ahkam (menciptakan hukum yang belum ada).
- Ijtihad Tathbiqil Ahkam (menerapkan hukum atau kaidah atas segala tempat yang menerimanya).

ITTIBA
1. Pengertian Ittiba

Ittiba menurut bahasa adalah “mengikuti”. Definisi dari istilah ialah mengikuti pendapat seorang mujtahid dengan memahami atau mengerti, baik cara-cara maupun alasan-alasan yang menjadikan dasar mujtahid yang bersangkutan untuk mengalirkan atau menetapkan garis-garis hukum mengenai sesuatu hal tertentu.
Dalam beberapa pendapat dikatakan bahwa ittiba ialah mengikuti seseorang karena jelas dan nyata dalilnya, sah mazhabnya, bahkan di perintahkan agama.
Imam syafi’i mengemukakan bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammd SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabi’in yang mendatangkan kebajikan.
Orang yang melakukan ittiba di sebut mutaabi, bila seseorang tidak sanggup berijtihad maka boleh berittiba kepada para mujtahid.

2. Hukum Berittiba
Untuk mengetahi akan boleh tidaknya berittiba maka berikut pengklasifikasian ittiba itu sendiri.
a. Ittiba kepadaAllah dan Rasulnya
b. Ittiba kepada selain Allah dan Rasulnya
Ittiba kepada Allah dan rasulnya adalah wajib sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam suarah Al-a’raf : 3
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ
Artinya:Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).
Akan tetapi berebicara tentang bagaimana berittiba kepada selain Allah dan rasulnya atau dengan kata lain berittiba kepada ulama, maka hal ini memunculkan berbagai perbedaan ada yang memboleh kan dan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hambal sebagai salah seorang yang menolak ittiba kepada selain Allah dan Rasulnya, sedangkan pendapat yang lain membolehkannya karena mengaggap bahwa ulama adalah penerus Nabi (Warasatul Anbiya).
Dengan demikian maka Ittiba menjadi salah satu perbuatan yang uatama, dan mejadi keharusan bagi kita yang tidak sanggup berijtihad, dan inilah tujuan kita sebagai orang-orang muslim senantiasa dapat memahami secara baik tujuan agama kita dan semua perbuatan-perbuatan yang ada didalamnnya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut.
ittiba wahyu tidak disyaratkan apapun kecuali mengetahui apa yang diamalkannya dari wahyu yang diikutinya. Oleh karena itu ia boleh mengetahui hadits dan mengamalkannya, serta mengetahui ayat dan mengamalkannya. Untuk mengamalkan itu semua tidak perlu harus memenuhi semua syarat syarat ijtihad (yang ditetapkan oleh ahli ushul).

Saran
Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah Ushul Fiqh II yang diampu oleh bapak Musahadi HAM, yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Pemakalah sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu pemakalah mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan makalah saya. Harapan pemakalah semoga makalah ini dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amien.

DAFTAR PUSTAKA

Muhtar, Yahya, Tatur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam,
Al Ma’arif, Bandung. 1993
Dr. Qurasy Shyhab, Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad, Departemen Agama,
IAIN Jakarta. 1986
Hanafie . A . 1993 . Ushul Fiqh . Jakarta : Widjaya Kusuma
Yahya . Mukhtar dan Fathur Rahman . 1993 . Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami . Bandung : Al ma’arif
http://id.netlog.com/adesoeryawiraone/blog/blogid=11441

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Tampilkan Komentar
Sembunyikan Komentar

0 Response to "Pembahasan Lengkap Tentang Ijtihad dan Ittiba'"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel


Like this blog? Keep us running by whitelisting this blog in your ad blocker.

This is how to whitelisting this blog in your ad blocker.

Thank you!

×