Pembahasan Lengkap Tentang Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta'dil
Saturday, February 18, 2017
2 Comments
A. PENGERTIAN ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL
Kata Al-Jarh (الجرح) merupakan bentuk dari kata Jaraha-Yajrahu(جرح - يجرح) atau Jariha-Yajrahu (جرح - يجرح) yang berarti cacat atau luka, atau seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Sedangkan kata Al-Ta’dil (التعديل) merupakan akar kata dari ‘Addala-Yu’addilu (عدل - يعدل) yang berarti mengadilkan, menyucikan, atau menyamakan. Dengan demikian, ilmu Al-Jarh wa Ta’dil secara etimologis berarti ilmu tentang kecacatan dan keadilan perawi hadis.
Secara terminologis, Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib mendefinisikanAl-Jarh sebagai berikut:
ظهور وصف في الراوي يثلم عدالته او يخل بحفطه و ضبته مما يتر تب عليه سقوط روايته او ضعفه و ردها
“Nampaknya suatu sifat pada seorang perawi yang dapat merusak nilai keadilannya atau melamahkan nilai hafalan dan ingatan, yang karena sebab tersebut gugurlah periwayatannya atau ia dipandang lemah dan tertolak”.
Sedangkan Al-Ta’dil didefinisikan sebagai berikut:
تز كية الراوي الحكم عليه بانه عدل او ضابط
“Membersihkan seorang rawi dan menetapkannya bahwa ia adalah seorang yang adil atau dhabit”.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kajian ‘Ilmu Jarh wa Ta’dil terfokus pada penelitian terhadap perawi hadis, sehingga diantara mereka dapat dibedakan antara perawi yang mempunyai sifat-sifat keadilan atau kedhabit-an dan yang tidak memilikinya. Dengan tidak memiliki kedua sifat-sifat itu, maka hal tersebut merupakan indicator akan kecacatan perawi dan secara otomatis periwayatannya tertolak. Sebaliknya bagi perawi yang memiliki kedua sifat-sifat di atas, secara otomatis pula ia terhindar dari kecacatan dan berimplikasi bahwa hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
Tentang kriteria keadilan atau ke-dhabit-an perawi, Al-Khatib Al-Baghdadi, misalnya menyebutkan sebagai berikut: Keadilan dan ke-dhabit-an meliputi (1) Al-Sa-doshidq, kejujuran, (2) Al-Syarifah bi Thalab Al-Hadis, terkenal dalam pencarian hadis, (3) Tark Al-Bida’, jauh dari praktek Bid’ah, dan (4) Ijtinab Al-Kabair, bukan pelaku dosa-dosa besar.
B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU JARH WA AL-TA’DIL
Pertumbuhan ilmu jarh wa ta’dil seiring dengan tumbuhnya periwayatan hadis. Namun perkembangannya yang lebih nyata adalah sejak terjadinya al-fitnah al-kubra atau pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu, kaum muslimin telah terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing mereka merasa mamiliki legitimasi atagitimasi atas tindakan yang mereka lakukan apa bila mengutip hadis-hadis Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadis-hadis palsu. Sejak itulah para ulama hadis menyeleksi hadis-hadis Rasulullah SWA, tidak hanya dari segi matan atau materinya saja tetapi mereka juga melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan hadis tersebut. Diantara sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah Ibnu Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H).
Apa yang dilakukan oleh para sahabat terus berlanjut pada masatabi’in dan atba’ut tabi’in serta masa-masa sesudah itu untuk memperbincangkan kredibilitas serta akuntabilitas perawi-perawi hadis. Diantara para tabi’in yang membahas jarh wa ta’dil adalah Asy-Sya’bi (103 H), Ibni Sirrin (110 H), dan Sa’id bin al-Musayyab (94 H). Ulama-ulama jarh wa ta’dil menerangkan kejelasan para perawi, walaupun para rawi itu ayahnya, anaknya, ataupun saudaranya sendiri. Mereka berbuat demikian, semata-mata untuk memelihara agama dan mengharapkan ridha dari Allah SWT. Syu’bah Ibnu al-Hajjaj (82 H-160 H), pernah ditanyakan tentang hadis Hakim bin Zubair. Syu’bah menjawab: “Saya takut kepada neraka”. Hal yang sama pernah dilakukan kepada Ali bin al-Madini (161 H-234 H) tentang ayahnya sendiri. Ali bin al-Madini menjawab, “Tanyakanlah tentang hal itu kepada orang lain”. Kemudian orang yang bertanya itu mengulangi lagi pertanyaannya. Kemudian Ali berkata: “Ayahku adalah seorang yang lemah dalam bidang hadis”.
Para ahli hadis sangat berhati-hati dalam memperkatakan keadaan para rawi hadis. Mereka mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela. Mereka melakukan ini hanyalah untuk menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggung jawab.
Ilmu jarh wa ta’dil yang embrionya telah ada sejak zaman sahabat, telah berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan hadis dalam Islam. Beberapa ulama bekerja mengembangkan dan menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadis, untuk “Menyelamatkan” hadis Nabi dari “Noda-noda” yang merusak dan menyesatkan.
Demikianlah sesungguhnya jarh wa ta’dil adalah kewajiban syar’Iyang harus dilakukan. Investigasi terhadap para perawi dan keadilan mereka bertujuan untuk mengetahui apakah rawi itu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti, pada hadis, tidak sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan suatu keniscayaan. Kealpaan terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.
Jarh dan ta’dil tidak dimaksudkan untuk memojokkan seorang rawi, melainkan untuk menjaga kemurnian dan otentisitas agama Islam dari campur tangan pendusta. Maka hal itu wajar-wajar saja, bahkan merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab tanpa ilmu ini tidak mungkin dapat dibedakan mana hadis yang otentik dan mana hadis yang palsu.
Pada abad ke-2 H, ilmu jarh wa ta’dil mengalami perkembangan pesat dengan banyaknya aktivitas para ahli hadis untuk mentajrih dan menta’dil para perawi. Diantara ulama yang memberikan perhatian pada masalah ini adalah Yahya bin Sa’ad al-Qathtan (189H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yazim bin Harun (189 H), Abu Daud at-Thayalisi (240 H), dan Abdurrazaq bin Humam (211 H).
Perkembangan ilmu jarh wa ta’dil mencapai puncaknya pada abad ke-3 H. pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar dalam ilmu jarh wa ta’dil, seperti Yahya bin Ma’in (w.230 H), Ali bin Madini (w.234 H), Abu Bakar bin Abi Syaihab (w.235 H), dan Ishaq bin Rahawaih (w.237 H). Ulama-ulama lainnya adalah ad-Darimi (w.255 H), al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w.261 H), al-Ajali (w.261 H), Abu Zur’ah (w.264 H), Abu Daud (w.257 H), Abu Hatim al-Razi (w.277 H), Baqi Ibnu Makhlad (w.276 H), dan Abu Zur’ah ad-Dimasqy (w.281 H).
C. KEGUNAAN ILMU JARH WA AL-TA’DIL
Ilmu jarh wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seoraang perawi itu bias dierima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikategorikan kedalam lingkup perbuatan:bid’ah, yakni melakukan tindakan tercela atau di luar ketentuan syariah;mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah; ghalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis; jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan da’wat al-inqitha’, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.
Adapun informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan yaitu:
a. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib. Bagi yang sudah terkenal di kalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b. Beasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta’dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa diterima. Begitu juga dengan rawi yang di-tajrih. Bila seorang rawi yang adil telah mentajrihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.
D. OBJEK / SASARAN POKOK ILMU AL-JARH WA TA’DIL
Sasaran pokok dalam mempelajari ilmu al-jarh wa ta’dil adalah sebagai berikut:
a) Untuk menghukumi / mengetahui status perawi hadis
b) Untuk mengetahui kedudukan hadis / martabat hadis, karena tidak mungkin mengetahui status suatu hadis tanpa mengetahui kaidah ilmu al-jarh wa ta’dil
c) Mengetahui syarat-syarat perawi yang maqbul. Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-nya serta perkara yang berkaitan dengannya.
E. TINGKATAN AL-JARH WA AL-TA’DIL
Ibnu Abi Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya al-jarh wa at-ta’dil telah membagi jarh dan ta’dil menjadi empat macam. Masing-masing tingkatan dijelaskan hukumnya. Lalu para ulama telah menambah lagi dengan dua tingkatan jarh dan ta’dil, sehingga menjadi empat tingkatan, yaitu:
1. TINGKATAN TA’DIL DAN LAFADZ-LAFADZNYA
a). Lafadz yang menunjukan mubalaghah (kelebihan) dalam halketsiqahan (keteguhan), atau lafadz yang mengikuti wazan af’ala.Contohnya: fulanun ilaihi al-muntaha fi at-tatsabbut (si Fulan itu paling tinggi keteguhannya), atau fulanun atsbata an-nas (si Fulan itu termasuk orang yang paling teguh).
b). Lafadz yang memperkuat salah satu sifat atau dua sifat tsiqah. Seperti, tsiqatun tsiqah (orang yang sangat-sangat tsiqah), atautsiqatun tsabitun (orangnya tsiqah dan teguh).
c). Lafadz (ungkapan) yang menunjukan ketsiqahan tanpa ada penguatan. Seperti, tsiqatun (orangnya tsiqah), atau hujjatun(orangnya ahli argumen).
d). Lafadz yang menunjukan ta’dil tanpa menampakkan kedlabitan. Seperti, shaduqun (orangnya jujur), atau yang sama kedudukannya dengan shaduq, atau la ba’sa (orangnya tidak punya masalah ¬–cacat-) yang diungkapkan selain oleh Ibnu Ma’in, karena katalaba’sa bihi yang ditujukan terhadap rawi dan dikatakan oleh Ibnu Ma’in mempunyai arti tsiqah.
e). Lafadz yang tidak menunjukkan ketsiqahan atau tidak menunjukkan adanya jarh. Contohnya, fulanun syaikhun (si Fulan itu seorang syekh/guru), atau ruwiya ‘anhu an-nas (manusia meriwayatkan dirinya)
f). Lafadz yang mendekati adanya jarh. Seperti, fulanun shalih al-hadis(si Fulan orang yang hadisnya shalih), yuktabu hadistuhu (orang yang Hadisnya dicatat).
2. HUKUM TINGKATAN-TINGKATAN AL-TA'DIL
a). Untuk tiga tingkatan yang pertama, orang-orangnya dapat dijadikan sebagai hujjah, meski sebagian dai mereka kekuatannya berbeda dengan sebagian lainnya.
b). Untuk tingkatan keempat dan kelima, orang-orangnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Meski demikian, hadisnya bisa dicatat dan diberitakan, walaupun mereka tergolong tingkatan yang kelima, bukan yang keempat.
c). Untuk tingkatan keenam, orang-orangnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Meski demikian hadis-hadis mereka dicatat hanya sebagai pelajaran, bukan sebagai sebuah berita (hadis yang bisa diriwayatkan), ini karena menonjolnya ketidakdlabitan mereka.
3. TINGKATAN JARH DAN LAFADZ-LAFADZNYA
a). Lafadz yang menunjukkan lunak (yaitu yang paling ringan jarhnya). Contohnya, fulanun layyinun al-hadis (si Fulan hadisnya linak), atau fihi maqalun (di dalamnya diperbincangkan).
b). Lafadz yang menunjukkan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, atau yang serupa. Contohnya, fulanun la yuhtajju bihi (si Fulan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah), atau dla’if (lemah), lahu manakir (dia hadisnya munkar).
c). Lafadz yang menunjukkan tidak bisa ditulis hadisnya, atau yang lainnya. Contohnya, fulanun la yuktabu haditsuhu (si Fulan hadisnya tidak bisa dicatat), la tahillu riwayatu ‘anhu (tidak boleh meriwayatkan hadis darinya), dla’if jiddan (amat lemah), wahn bi marratin (orang yang sering melakukan persangkaan).
d). Lafadz yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta, atau yang sejenisnya. Contohnya, fulanun muhtammun bi al-kadzib (si Fulan orang yang dituduh berbuat dusta), atau muthammun bi al-wadl’I (orang yang dituduh berbuat palsu), atau yasriqu al-hadis (yang mencuri hadis), atausaqithun (gugur), atau matruk (ditinggalkan), atau laisa bi tsiqatin (tidaktsiqah).
e). Lafadz yang menunjukkan adanya perbuatan dusta, atau yang semacamnya. Contohnya, kadzdzab (pendusta), atau dajjal, atau wadla’ (pemalsu), atau yukadzdzibu (didustakan), atau yadla’u (pembuat hadis palsu).
f). Lafadz yang menunjukkan adanya mubalaghah (tingkatan yang amat berat) dalam perbuatan dusta. Dan ini tingkatan yang paling buruk. Contohnya, fulanun akdzabu an-nas (si Fulan itu orang yang paling pendusta), ilaihi al-muntaha fi al-kadzbi (dia orang yang menjadi pangkalnya dusta), hawa ruknu al-kadzbi (dia orang yang menjadi penopang dusta).
thank's
ReplyDeletesama2, semoga bermanfaat
Deletesenang melihat anda berkunjung blog ini