Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia
Thursday, March 1, 2018
Add Comment
1. Ejaan Charles Adrian Van Ophuijsen (1901-19 Maret 1947)
Ejaan ini diterbitkan pada tahun 1901 dalam kitab Logat Melayu dan merupakan ejaan resmi untuk bahasa Melayu. Pemerintah Hindia Belanda memerintahkan Charles A. Van Ophuijsen menyusun ejaan bahasa Melayu dibantu oleh Muhammad Taib Said Sutan Ibrahim dan Engku Nawawi gelar Sutan Makmur. Mereka menghasilkan ejaan yang banyak dipengaruhi oleh ejaan bahasa Belanda sebab pada waktu itu Indonesia masih dijajah Belanda.
Berikut ini adalah contoh penggunaan Ejaan Van Opuijsen:
Penggunaan huruf tj untuk menuliskan kata: tjinta, tjoekoer, pantjar
Penggunaan huruf dj untuk menuliskan kata: moedjoer, djoedjoer, wadjar
Dari contoh di atas, terlihat pengaruh ejaan Belanda pada huruf tj, oe, dan dj. Dari segi lain dapat disimpulkan bahwa kelemahan Ejaan Van Ophuijsen adalah terlalu banyak menggunakan tanda diakritik, seperti koma ain, koma wasla, dan tanda trema (terutama dalam mengindonesiakan kata-kata Arab).
2. Ejaan Suwandi/Ejaan Republik (19 Maret 1947-1956)
Pemerintah Indonesia melalui Mr. Suwandi sebagai Menteri P dan K menetapkan Ejaan Baru Bahasa Indonesia pada tanggal 19 Maret 1947, yang kemudian dikenal dengan Ejaan Republik atau Ejaan Suwandi. Dengan demikian ejaan Charles Adrian Van Ophuijsen diubah dan dinyatakan tidak berlaku sejak penetapan ejaan tersebut.
Tujuan mengadakan perubahan ejaan tersebut adalah penyederhanaan guna mencapai kemudahan-kemudahan. Perubahan-perubahan penting Ejaan Suwandi di antaranya:
Huruf oe diganti u. Misalnya: masoek menjadi masuk.
Bunyi hamzah atau bunyi sentak ain diganti dengan huruf k. Misalnya: ra’yat menjadi rakyat.
Kata ulang boleh ditulis dengan angka dua, tetapi harus diperhatikan bagian mana yang diulang. Misalnya: bermain-main ditulis ber-main2.
Tanda trema dihilangkan. Misalnya: taät menjadi taat
Huruf e pada kata sejuk, beras, dan e pada kata bebas, antek disamakan. Jadi e tidak perlu diberi garis lagi di atasnya.
Kata-kata baru yang dalam bahasa asalnya tidak memakai bunyi pepet, maka bunyi antara dalam Bahasa Indonesia tidak perlu diberi e pepet. Misalnya: sastra bukan sastera.
Oleh para ahli bahasa dan para pengamat Bahasa Indonesia, Ejaan Suwandi dinilai tidak dapat menyempurnakan Ejaan Van Ophuijsen, bahkan menimbulkan kesulitan-kesulitan baru.
Berikut ini adalah masalah-masalah pada Ejaan Suwandi di antaranya:
Ketentuan bahwa kata baru yang dalam bahasa asalnya tidak memakai bunyi pepet ternyata sulit diterapkan, terutama dalam menentukan manakah kata yang baru dan mana kata yang lama.
Penggunaan angka dua sebagai tanda bentuk ulang hanya terbatas pada kata dasar dan kata jadian, sedangkan kata majemuk dan ungkapan tidak ditentukan bagaimana cara mengulangnya.
Penulisan kata-kata: ta’, pa’, dan ra’yat yang diganti menjadi tak, pak, dan rakyat, mengakibatkan pengucapan salah karena terlalu jelas sehingga sulit dibedakan bunyi sentak yang terdapat pada kata: takdir, maksud, maksiat, dan sebagainya.
Tidak dibicarakan huruf-huruf: f, v, y, dan z untuk menulis kata asing. Padahal merupakan hal yang sangat penting dalam Bahasa Indonesia.
3. Ejaan Pembaharuan (1956-1961)
Dengan Surat Keputusan Menteri P dan K Nomor 48 tahun 1956 maka dibentuk Panitia Pembaharuan Ejaan Bahasa Indonesia. Akan tetapi hasilnya tidak pernah diumumkan secara resmi. Beberapa hal yang penting adalah mereka mencoba mengganti huruf rangkap: dj, tj, ng, nj dengan j, c, ng, nj yang dipakai aw, ay, oy.
4. Ejaan Melindo/Melayu Indonesia (1961-Agustus 1967)
Persahabatan Persekutuan Tanah Melayu dengan Indonesia mencoba menyusun sebuah ejaan yang dituangkan dalam sidang di Jakarta tahun 1959. Kemudian hasil sidang diumumkan pada tahun 1961 dan diterbitkan oleh Departemen P dan K, menurut rencana akan diresmikan pada bulan Januari 1962. Karena adanya konfrontasi politik dengan Malaysia, ejaan ini tidak sempat menjadi kenyataan. Sebagai catatan bahwa ejaan Melindo sebagian besar sama dengan Ejaan Pembaharuan, hanya saja fonem e ditetapkan dengan diberi garis di atasnya jika dibuat e pepet.
5. Ejaan LBK/Lembaga Bahasa dan Kesusastraan
Ejaan ini disusun oleh Panitia Ejaan Bahasa Indonesia Departemen P dan K pada bulan September 1967. Panitia ini dibentuk oleh Kepala Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, dengan hasilnya antara lain:
Huruf tj diganti c, j diganti y, nj diganti ny, sj menjadi sy, dan ch menjadi kh.
Huruf asing: z, y, dan f disahkan menjadi ejaan Bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan pemakaian yang sangat produktif.
Huruf e tidak dibedakan pepet atau bukan, alasannya tidak banyak kata yang berpasangan variasi e yang menimbulkan salah pengertian.
Sayang, ejaan ini tidak sempat diresmikan karena banyak menimbulkan reaksi dari pemakai, antara lain karena meniru ejaan Malaysia dan keperluan mengganti ejaan belum benar-benar mendesak.
6. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan/EYD (16 Agustus 1972-sekarang)
Pada tanggal 16 Agustus 1972, pemerintah Indonesia menetapkan ejaan baru yaitu ejaan LBK yang telah diperbaiki dan disempurnakan, kemudian dikenal dengan nama Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Hal ini disertai dengan penertiban buku saku berwarna merah putih pada tahun 1972 dengan judul Ejaan Yang Disempurnakan. Untuk melengkapi EYD, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen P dan K menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, berlaku sejak 27 Agustus 1975 dengan SK menteri P dan K Nomor 0196/U/1975.
Beberapa perubahan penting pada Ejaan Yang Disempurnakan yang dilakukan:
Abjad dibaca: a, be, ce, de, dan seterusnya, sebelumnya dibaca: a, ba, ca, da, dan seterusnya.
Kata majemuk ditulis terpisah, seperti: kereta api dan kamar tidur, kecuali hubungan unsur-unsurnya erat seperti: matahari, peribahasa, dan sebagainya. Sebelum ini kata majemuk selalu ditulis serangkai.
Akronim yang memiliki lebih dari dua huruf awal tidak memakai tanda titik, misalnya: SMA dan FKIP sebelumnya ditulis S.M.A DAN F.K.I.P.
Penulisan ejaan:
tj menjadi c
nj menjadi ny
Huruf asing yang diresmikan pemakaiannya:
z pada kata zaman
f pada kata pasif
v pada kata konvoi
Bunyi antara w dihilangkan diganti menjadi ua. Misalnya: kwalitas menjadi kualitas.
Jika di tengah kata ada dua konsonan, maka konsonan pertama (termasuk ng), maka pemenggalannya seperti:
April menjadi Ap-ril
Bangkrut menjadi bang-krut
Huruf q dan x yang biasa digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai. Contoh: foto Nixon, musabaqah.
Penulisan nama diri: sungai, orang, gunung, jalan, dan sebagainya, haruslah disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan, kecuali jika ada pertimbangan khusus dari segi tradisi, hukum, dan sejarah.
Kelemahan pepet ini adalah tidak dibedakannya huruf e yang menyatakan pepet maupun tidak, sebab ditulis sama.
0 Response to "Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia"
Post a Comment