Pembahasan Lengkap Tentang Zina dan Qadzaf
Tuesday, October 3, 2017
Add Comment
KATA PENGANTAR
Penyusunan menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dan sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
Banda Aceh, 5 NOVEMBER 2016
Penyusun,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangPersoalan menuduh seseorang sebagai pemerkosa atau penzina adalah kesalahan yang serius dalam Islam. Malahan Islam membuat kehormatan pada salah satu dari lima kebutuhan dasar yang mesti dijaga dalam Islam. Manakala sesuatu tuduhan zina pada seseorang tanpa barang bukti adalah salah satu dari tujuh dosa besar.
Berkaitan dengan perbuatan ini, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda dalam hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim juga agar kaum muslimin sangat berhati-hati dalam melemparkan tuduhan keji atau tuduhan zina. Sehingga hukum hududpun seharusnya ditinggalkan tanpa adanya bukti dan saksi yang sahih.
إدرؤ الحدود بالشبهات
Artinya : “Tinggalkan hudud karena perkara-perkara yang syubhat atau yang masih samar-samar”.
Oleh karena itu, tidak ada siapapun yang boleh menuduh zina pada orang lain tanpa mengemukakan 4 orang saksi laki-laki yang adil yang melihat dengan jelas kejadian zina atau perkosaan yang telah dilakukan, seperti ibarat mereka dapat melihat bagaimana sebuah pena dimasukkan kedalam tutupnya atau seperti sebuah timba yang jatuh dalam sumur. Barulah boleh dianggap saksi. Jika sekiranya hanya “berbaring diatas” tanpa dapat melihat yang dinyatakan tadi, maka tidak dianggap saksi.Perkara ini memang sukar, karena Hudud tidak boleh dilaksanakan jikalau terdapat suatu keraguan. Tetapi ini tidak berarti bahwa si pelaku yang berbuat tidak dijatuhi hukuman, karena jika hukumannya ditetapkan bukan melalui jalan saksi, maka ia akan dikenakan takzir. Bukankah takzir juga cukup untuk menghukum orang yang berbuat salah tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun permasalahan yang akan pemakalah paparkan dalam makalah ini adalah:
1) Apa yang dimaksud Qadzaf dan zina?
2) Apa Hukuman bagi orang yang melakukan Qadzaf?
3) Unsur-unsur zina dan qadzaf?
4) macam-macam zina?
5) hikmah zina dan qadzaf?
C. TUJUAN PENULISAN
a. mengetahui pengertian zina dan qadzaf
b. mengetahui hukum-hukumnya
c. mengetahui ayat-ayat dan hadis yang ada pada zina dan qadzaf
BAB II
PEMBAHASAN
A. ZINA
1. PENGERTIAN ZINA
Zina (الزنا ) adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa nikah yang sah mengikut hukum syarak (bukan pasangan suami isteri) dan kedua-duanya orang yang mukallaf, dan persetubuhan itu tidak termasuk dalam takrif (persetubuhan yang meragukan). Jika seorang lelaki melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan, dan lelaki itu menyangka bahawa perempuan yang disetubuhinya itu ialah isterinya, sedangkan perempuan itu bukan isterinya atau lelaki tadi menyangka bahawa perkahwinannya dengan perempuan yang disetubuhinya itu sah mengikut hukum syarak, sedangkan sebenarnya perkahwinan mereka itu tidak sah, maka dalam kasus ini kedua-dua orang itu tidak boleh didakwa dibawah kes zina dan tidak boleh dikenakan hukuman hudud, kerana persetubuhan mereka itu adalah termasuk dalam wati’ subhah iaitu persetubuhan yang meragukan.
Zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena nikah, dan bukan pula karena pemilikan (terhadap hamba). Secara garis besar, pengertian ini telah disepakati oleh para ulama islam, meski mereka masih berselisihpendapat tentang manakah yang dikatakan syubhat, yang menghindarkan hukuman hadd, dan mana pula yang tidak menghindarkan hukuman tersebut.
Ulama Malikiyah mendefinisikan zina me-wathi nya seorang laki-laki mukallaf terhadap faraj wanita yang bukan miliknya dilakukan dengan sengaja. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukkan zakar kedalam faraj yang haram dengan tidak syubhat dan secara naluri memuaskan hawa nafsu.
2. UNSUR-UNSUR ZINA
Meskipun para Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan zina, tetapi mereka sepakat terhadap dua unsure zina, yaitu wathi haram dan sengaja atau ada I’tikad jahat. Seseorang dianggap memiliki I’tikad jahat apabila ia melakukan perzinaan dan ia tahu bahwa perzinaan itu haram.
Yang dimaksud Wathi haram ialah Wathi pada paraj wanita bukan istrinya atau hambanya yang masuknya zakar itu seperti masuknya ember kedalam sumur dan tetap dianggap zina meskipun ada penghalang antara zakar dengan farajnya selama penghalang itu tidak menghalangi kenikmatan.
3. MACAM-MACAM ZINA ANGGOTA TUBUH
zina dengan kedua mata: memandang wanita yang tidak halal, misalnya memandang wanita yang bukan muhrimnya.
Rasulullah SAW bersabda:
زِنَا الْعَيْنَيْنِ النَّظْرُ
“Zina kedua mata ialah memandang wanita yang bukan muhrim.” (H.R. Ibnu Sa’ad, Thabrani, dan Abu Nu’Aim dari Alqamah bin Huwarits)
Adapun Rasulullah SAW bersabda:
نَظْرُ الآَجْنَبِيَّا تِ مِنَ الكَبَا ئِر
“Memandang wanita ajnabiyyat (bukan muhrim) termasuk dosa-dosa besar”Keterangan: Kata Ajnabiyyat, artinya wanita yang halal dinikahi. Termasuk dosa besar, yakni jika dalam pandangan tersebut menimbulkan nafsu dan kecenderungan hati kepadanya, tetapi jika tidak, tidak termasuk dosa besar.
Yaitu zina kedua kaki: Yaitu barjalan ketempat maksiat. Seperti berjalan ke tempat-tempat yang di larang oleh agama.
Yaitu zina dengan kedua tangan: Yaitu bertindak dengan tangannnya dengan cara kekerasan tanpa alasan yang dibolehkan.
Maka Rasulullah SAW bersabda:
زِنَا الرِّجْلَيْنِ المَشْيُ وَزِنَا الْيَدَيْنِ الْبَطْشُ وَ زِنَا العَيْنَيْنِ النَّظْرُ
“ Zina kedua kaki adalah berjalan, dan zina kedua tangan adalah bertindak dengan kasar, serta zina kedua mata ialah memandang kepada yang tidak halal”Yaitu zina kedua telinga, ialah mendengar sesuatu yang membuka ‘aib seseorang/ mendengarkan yang tidak baik (menguping).
Yaitu zina lisan, ialah sesuatu yang membuka ‘aib seseorang, beerkata-kata yang kasar, dan berkata-kata yang tidak benar (menuduh) seseorang berzina,
Yaitu zina dengan hidung, ialah mencium yang bukan muhrim, atau mencium parfum seseorang yang bukan muhrim apabila Ia bersyahwat.
Yaitu degan faraj, ialah memasukkan kemaluan laki-laki kedalam kemaluan perempuan yang tidak halal disetubuhi/yang bukan muhrim.
Maka Rasulullah SAW bersabda :
زَنْيَةٌ وَاحِدَةُ تُحْبِطُ عَمَلَ سَبْعِيْنَ سَنَةً
“Melakukan zina satu kaliakan menghapuskan amal selama tujuh puluh tahun.”.4. PENGGOLONGAN ZINA
ZINA TERBAGI MENJADI DUA :
1. ZINA MUHSAN
Yaitu lelaki atau perempuan yang telah pernah melakukan persetubuhan yang halal (sudah pernah menikah) .Perzinaan yang boleh dituduh dan didakwa dibawah kesalahan Zina Muhsan ialah lelaki atau perempuan yang telah baligh, berakal, merdeka dan telah pernah berkahwin, iaitu telah merasai kenikmatan persetubuhan secara halal.
2. ZINA BUKAN MUHSAN
Yaitu lelaki atau perempuan yang belum pernah melakukan persetubuhan yang halal (belum pernah menikah).Penzinaan yang tidak cukup syarat-syarat yang disebutkan bagi perkara diatas tidak boleh dituduh dan didakwa dibawah kesalahan zina muhsan, tetapi mereka itu boleh dituduh dan didakwa dibawah kesalahan zina bukan muhsan mengikut syarat-syarat yang dikehendaki oleh hukum syarak.
3. HUKUMAN
a. Seseorang yang melakukan zina Muhsan, sama ada lelaki atau perempuan wajib dikenakan keatas mereka hukuman had (rejam) Yaitu dibaling dengan batu yang sederhana besarnya hingga mati. Sebagaimana yang dinyatakan di dalam kitab I’anah Al- Thalibin juzuk 2 muka surat 146 yang bermaksud :
“”Lelaki atau perempuan yang melakukan zina muhsan wajib dikenakan keatas mereka had (rejam), iaitu dibaling dengan batu yang sederhana besarnya sehingga mati ””.
b. Seseorang yang melakukan zina bukan muhsan sama ada lelaki atau perempuan wajib dikenakan ke atas mereka hukuman sebat 100 kali sebat/cambuk dan di buang keluar negeri/diasingkan selama setahun sebagaimana terdapat di dalam kitab Kifayatul Ahyar juzuk 2 muka surat 178 yang bermaksud :
“”Lelaki atau perempuan yang melakukan zina bukan muhsin wajib dikenakan keatas mereka sebat 100 kali sebat dan buang negeri selama setahun””.
c. Perempuan-perempuan yang dirogol atau diperkosa oleh lelaki yang melakukan perzinaan dan telah dukung dengan bukti –bukti yang diperlukan oleh hakim dan tidak menimbulkan sebarang keraguan dipihak hakim bahawa perempuan itu dirogol dan diperkosa, maka dalam kasus ini perempuan itu tidak boleh dijatuhkan dan dikenakan hukuman hudud,dan ia tidak berdosa dengan sebab perzinaan itu.
d. Lelaki yang merogol atau memperkosa perempuan melakukan perzinaan dan telah ditetapkan kesalahannya dengan bukti – bukti dan keterangan yang dikehendaki oleh hakim tanpa menimbulkan keraguan dipihak hakim, maka hakim hendaklah menjatuhkan hukuman hudud keatas lelaki yang merogol perempuan itu, iaitu wajib dijatuhkan dan dikenakan ke atas lelaki itu hukuman rejam dan sebat.
e. Perempuan-perempuan yang telah disebutkan oleh hakim bahawa ia adalah dirogol dan diperkosa oleh lelaki melakukan perzinaan, maka hakim hendaklah membebaskan perempuan itu dari hukuman hudud (tidak boleh direjam dan disebat) dan Allah mengampunkan dosa perempuan itu di atas perzinaan secara paksa itu.
B. QADZAF
1. PENGERTIAN QADZAF
Jarimah atau Jinayah menurut Abd. Al-Qadir Awdah adalah “Perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya”. Jadi jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sedangkan menurut al-Mawardi Jarimah atau Jinayah adalah “Larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir”.
Qadzaf ialah melemparkan tuduhan zina kepada orang yang baik-baik lagi suci bahwa ia telah berbuat zina.. Yaitu maksudnya qadzaf ialah membuat tuduhan zina yang tidak dibuktikan terhadap seorang Islam yang akil baligh dan dikenali sebagai seorang yang bersih dari perbuatan zina tanpa pembuktian dengan empat orang saksi laki-laki. Qadzaf boleh berlaku dengan membuat kenyataan secara jelas seperti mengatakan seseorang itu telah berzina, atau dengan cara tersirat seperti menyatakan bahwa seseorang itu bukan anak atau bukan bapak kepada seseorang tertentu.
2. UNSUR-UNSUR QADZAF
Unsur-unsur qadzaf ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya tuduhan zina atau menghilangkan nasab
Unsur ini dapat terpenuhi apabila pelaku menuduh korban dengan tuduhan melakukan zina atau tuduhan yang menghilangkan nasabnya, dan ia (pelaku penuduh) tidak mampu membuktikan yang dituduhkannya.
Tuduhan zina kadang-kadang menghilangkan nasab korban dan kadang-kadang tidak. Kata-kata seperti ياابن الزنا “Hai anak zina”, menghilangkan nasab anaknya dan sekaligus menuduh ibunya berbuat zina. Sedangkan kata-kata seperti يازانى “Hai pezina” hanya menuduh zina saja dan tidak menghilangkan nasab atau keturunannya.
2. Orang yang dituduh harus orang muhshan
Dasar hukum tentang syarat ihsan untuk maqzuf (orang yang tertuduh) adalah:
a. Surat An-Nuur ayat 23
3. Adanya niat melawan hukum
Unsur melawan hukum dalam jarimah qadzaf dapat terpenuhi apabila seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan zina atau menghilangkan nasabnya, padahal ia tahu bahwa apa yang dituduhkannya tidak benar. Dan seseorang dianggap mengetahui ketidakbenaran tuduhan apabila ia tidak mampu membuktikan kebenaran tuduhannya.
Ketentuan ini didasarkan kepada ucapan Rasulullah saw. Kepada Hilal ibn Umayyah ketia ia menuduh istrinya berzina dengan Syarik ibn Sahma’:
“Datanglah saksi, apabila tidak bisa mendatangkan saksi maka hukuman had akan dikenakan kepada kamu” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’ la)
Atas dasar inilah jumhur fuqaha berpendapat bahwa apabila saksi dalam jarimah zina kurang dari empat orang maka mereka dikenai hukuman had sebagai penuduh, walaupun menurut sebagian yang lain mereka tidak dikenai hukuman had, selama mereka betul-betul bertindak sebagai saksi.
3. PELAKSANAAN HUKUM QADZAF
Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu sebagai berikut.
1. Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali, hukuman ini merupakan hukuman had, yaitu hukuman yang sudah ditetapkan oleh syara, sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk memberikan pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh, para ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafii, orang yang dituduh berhak memberikan pengampunan, karena hak manusia lebih dominan dari pada hak Allah. Sedangkan menurut mazhab Hanafi bahwa korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena di dalam jarimah qadzaf hak Allah lebih dominan dari pada hak manusia.
2. Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya
Kedua macam hukuman tersebut didasarkan kepada firman Allah dalam Surah An-Nuur ayat 4:[4]
Had qadzaf bisa gugur bila si penuduh dapat mendatangkan empat orang saksi, karena dengan adanya para saksi itu berarti alternative negative yang mengharuskan had menjadi lenyap. Jika demikian, maka si tertuduh harus dihadd karena berzina. Demikianjuga bila si tertuduh itu mengaku berzina atau mengaku atas kebenaran tuduhan penuduhnya.
Jika seorang istri menuduh zina suaminya, maka ia harus di- had bila syarat-syarat untuk menjatuhkan had itu sudah terpenuhi. Akan tetapi, jika suami menuduh zina kepada istrinya dan ia tidak dapat mendatangkan bukti-bukti, maka ia tidak dapat dijatuhi had, hanya saja ia harus bersumpah li’an, apabila si suami tidak dapat mendatangkan bukti-bukti dan juga tidak mau bersumpah li’an, maka ia pun harus dijatuhi had qadzaf.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Maka Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada dosa yang lebih besar dihadapan Allah Ta’ala setelah Syirik (menyekutukan Allah) daripada seorang laki-laki yang meletakkan air mani’ nya pada seorang wanita yang tIdak halal (melakukan zina).” (H.R. Ibnu Abi Dunya dari Haitsim bin Malik ath Thai).
Hadis diatas menyatakan bahwa sesungguhnya zina merupakan dosa terbesar dari dosa-dosa besar setelah kufur. Akan tetapi, hadis yang lebih sahih daripada ini menerangkan bahwa membunuh merupakan dosa terbesar setelah menyekutukan Allah.
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu sebagai berikut.
1. Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali, hukuman ini merupakan hukuman had, yaitu hukuman yang sudah ditetapkan oleh syara, sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk memberikan pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh, para ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafii, orang yang dituduh berhak memberikan pengampunan, karena hak manusia lebih dominan dari pada hak Allah. Sedangkan menurut mazhab Hanafi bahwa korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena di dalam jarimah qadzaf hak Allah lebih dominan dari pada hak manusia.
2. Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya
Sedangkan pembuktiannya untuk jarimah qadzaf adalah dengan saksi, pengakuan, dan sumpah
B. SARAN
Demikianlah makalah yang dapat kami susun, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan penulis untuk memperbaiki makalah ini. Penulis juga minta maaf apabila ada penulisan atau ulasan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
(2002), Al-Qur’an Terjemah, Jakarta; Depag RI
Al-Hafiz, Abu Mazaya, Al-Sahafi, Abu Izzat, (2004), Fiqh Jenayah Islam, Kualalumpur; Al-Hidayah
Sabiq, Sayyid, (1983), Fiqh Sunnah, Semarang; Birut Dar al-Fikr
Bahansi, Fathi. Al-siyasahn al-jinayah
Djazuli. 1997. Fiqih Jinayah. Grafindo Persada: Jakarta
Diibul Bigha, Musthafa. 1984. Fiqih Syafi’i. Bintang Pelajar: Jakarta
Ja’far, Abidin. 2006. Hadits Nabawi. MT. Furqan: Banjarmasin
Muhammad, Syekh. 1994. Penafsiran Hadis Rasulullah SAW secara kontekstual. Trigenda Karya: Bandung
Rusyd, Ibnu. 1990. Bidayatul Mujtahid. Asy-Syifa: semarang
Sabiq, Sayyid. 1995. Fiqih Sunah 9. Al-Ma’arif: Bandung
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Asy-Syifa, (Semarang: 1990).
Drs. H. A. Djazuli, Fiqih Jjinayah, PT. Grafindo Persada, (Jakarta: 1997),
H. Abidin Ja’far, Lc., MA, Hadits Nabawi, CV. MT. Furqan, (Banjarmasin: 2006).
Syekh Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani, Penafsiran Hadis Rasulullah SAW Secara Kontekkstual, Trigenda Karya, (Bandung: 1994),
Fathi Bahansyi, Al-Siyasah al-Jinayah,
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah 9, PT. Al-Ma’arif, (Bandung: 1995),
Musthafa Diibul Bigha, Fiqih Syafi’I, CV. Bintang Pelajar, (Jakarta: 1984),
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Imam Hasan al-Banna, Fiqih Sunnah Jilid 3, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007
0 Response to "Pembahasan Lengkap Tentang Zina dan Qadzaf"
Post a Comment