Safelink

Pembahasan Lengkap Tentang Sistem Pemerintahan Parlementer UUDS 1950

Pembahasan Lengkap Tentang Sistem Pemerintahan Parlementer UUDS 1950
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pada waktu berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara penyelenggaraan pemerintahan negara menganut sistem pemerintahan Kabinet Parlementer (Sistem Pertanggungjawaban Menteri).
Berdasarkan maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, maka timbullah partai-partai politik yang jumlahnya sangat banyak, yakni 28 partai. Pemilu thn. 1955 diadakan 2 kali yaitu :
1. Pemilu I, tanggal 19 September 1955 untuk memilih anggota parlementer (DPR).
2. Pemilu II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante.
Sistem Kabinet Parlementer pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat belum berjalan sebagaimana mestinya, sebab belum terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, sedangkan pada waktu berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara, Sistem Kabinet Parlementer baru berjalan sebagaimana mestinya, setelah terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan pemilihan umum tahun 1955 tersebut.
Badan Konstituante bertugas membentuk UUD yang baru.dalam menjalankan tugas badan konstituante tidak pernah membuahkan hasil, padahal kondisi negara dalam keadaan yang memprihatinkan.
Berdasarkan keadaan darurat luar biasa ini demi persatuan, kesatuan dan stabilitas nasional presiden Soekarno mengeluarkan “Dekrit Presiden 5 Juli 1959” yang isinya:
1.      Pembubaran Badan Konstituante
2.      Berlaku kembali UUD 1945 dan tidak memberlakukan UUDS
3.      Pembentukan MPR dan DPAS
Pada masa UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959) terjadi sebuah dinamika politik dan hukum di Indonesia. Setelah terjadi perubahan UUD di Indonesia dari UUD 1945, kemudian diganti dengan UUD RIS (pada masa pergantian RI menjadi RIS), setelah itu diganti dengan UUDS 1950.
Meninjau lebih dalam tentang lembaga negara yang ada pada masa UUDS 1950 dengan sebuah tinjauan yuridis. Karena kita akan berbicara tentang lembaga negara pada tataran yuridis, bukan dari segi politik. Diakui atau tidak kita tidak bisa memisahkan antara politik dan hukum. Akan tetapi, nampaknya terkadang kita harus sedikit lebih tegas dalam mengambil sebuah benang merah. Saling berkaitan, berhubungan dan saling mendukung tentu saja ada. Meski demikian, konsentrasi kita adalah menilik UUDS 1950 dari segi yuridis, aturan hukumnya.

B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sistematika UUDS 1950 ?
2.      Bagaimana bentuk negara pada masa UUDS 1950 ?
3.      Bagaimana bentuk pemerintahan pada masa UUDS 1950 ?
4.      Bagaimana sistem pemerintahan pada masa UUDS 1950 ?
5.      Faktor apa saja yang menyebabkan seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal ?
C.    Tujuan
Tujuan dari makalah yang kami buat ini adalah agar mahasiswa dan mahasiswi serta instansi lain dapat :
1.    Mengetahui sistematika UUDS 1950.
2.    Mengetahui bentuk negara pada masa UUDS 1950.
3.    Mengetahui lembaga bentuk pemerintahan pada masa UUDS 1950
4.    Mengetahui sistem pemerintahan pada masa UUDS 1950
5.    Mengetahui faktor yang menyebabkan seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sistematika UUDS 1950
UUDS 1950 merupakan undang-undang sementara setelah sebelumnya terdapat UUD RIS, atau UUDS 1950 merupakan undang-undang transisi masa peralihan dari UUD RIS menuju pemberlakuan kembali UUD 1945.
Sistematika UUDS 1950, adalah sebagai berikut:
a.       Mukaddimah,terdiri dari empat alinea ( berbeda rumusannya, baik dengan UUD 1945 maupun Konstitusi RIS 1949, serta rumusan dasar Negara terdapat dalam alinea IV dengan rumusan yang berbeda dengan UUD 1945 ).
b.      Batang Tubuh, terdiri dari enam bab, dan 146 pasal.
Dalam UUDS 1950 tidak terdapat bagian penjelasan.
Dalam mukaddimah UUDS 1950 teradapat rumusan dan sistematika dasar Negara Pancasila yang sama dengan yang tercantum dalam konstitusi RIS, yaitu:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa;
2.      Peri Kemanusiaan;
3.      Kebangsaan;
4.      Kerakyatan;
5.      Keadilan Sosial

B.   Bentuk Negara
Bentuk negara yang dikehendaki oleh UUDS tahun 1950 ialah negara kesatuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam mukaddimah alinea IV UUDS 1950 yang berbunyi: …Kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk republik kesatuan,… Selain itu, diperkuat dalam Pasal 1 Ayat (1) UUDS 1950 yang menyebutkan:…Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan…
Ciri negara kesatuan adalah tidak ada negara dalam negara dan pemerintah pusat mempunyai kedaulatan ke luar dan ke dalam dengan sistem desentralisasi. Hal ini sesuai amanat Pasal 131 Ayat (1) UUDS 1950 yang menyatakan bahwa :…Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi), dan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasae permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara…

C.  Bentuk Pemerintahan
Bentuk pemerintahan adalah republik sesuai dengan Mukadimah alinea IV dan Pasal 1 Ayat (1) UUDS 1950. Bentuk pemerintahan yang dipraktikkan sebagai berikut :
a.       Presiden sebagai kepala Negara yang dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh wakil presiden ( Pasal 45 Ayat 1 dan 2 ).
b.      Proses pemilihan presiden dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan untuk pertama kali wakil presiden diangkat oleh presiden ( Pasal 45 Ayat 3 dan 4 ).

D.  Sistem Pemerintahan
Berdasarkan UUDS 1950, sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem pemerintahan parlementer yang semu ( quasi parlementer ). Sistem pemerintahan tersebut mirip sengan sistem pemerintahan Konstitusi RIS 1949. Dalam praktik penyelenggaraan sistem pemerintahan, terdapat alat-alat kelengkapan negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 UUDS 1950 sebagai berikut :
1.      Presiden dan wakil presiden.
2.      Menteri-menteri.
3.      Dewan Perwakilan Rakyat.
4.      Mahkamah Agung.
5.      Dewan Pengawas Keuangan.
Berdasarkan UUDS 1950, sistem pemerintahan seharusnya bersumber pada demokrasi Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUDS 1950. Namun, dalam pelaksanaanya, demokrasi yang dipraktikan adalah demokrasi liberal, karena berlaku sistem multipartai. Apalagi setelah hasil pemilu tahun 1955, tidak ada satupun partai yang menang dan mendapat kursi mayoritas ( 51% ) di parlemen, sehungga pemerintahan mengalami ketidakstabilan politik. Hal ini dapat terlihat dengan sering jatuhnya kabinr dalam periode ini, yaitu dalam kurun waktu tahun 1950 s/d 1959. Berikut kabinet-kabinet yang pernah ada pada waktu itu.

1.      Kabinet Natsir ( 6 September 1950 – 27 April 1951 )
Kabinet Natsir merupakan suatu Zaken Kabinet, intinya adalah Partai Masyumi. Kabinet ini menyerahkan mandatnya tanggal 21 Maret 1951, setelah adanya mosi yang menuntut pembekuan dan pembubaran DPRD Sementara. Penyebab lainnya adalah seringnya mengeluarkan Undang Undang Darurat yang mendapat kritikan dari partai oposisi.

2.       Kabinet Sukiman ( 27 April 1951- 3 April 1952 )
Kabinet Sukiman merupakan koalisi antara Masyumi dengan PNI. Pada masa Kabinet Sukiman muncul berbagai gangguan keamanan, misalnya DI/TII semakin meluas dan Republik Maluku Selatan. Kabinet ini jatuh karena kebijakan politik luar negerinya diangap condong ke Serikat. Pada tanggal 15 Januari 1952 diadakan penandatanganan Mutual Security Act (MSA). Perjanjian ini berisi kerja sama keamananan dan Serikat akan memberikan bantuan ekonomi dan militer.

3.      Kabinet Wilopo ( 3 April 1952 – 30 Juli 1953 )
Kabinet Wilopo didukung oleh PNI, Masyumi, dan PSI. Prioritas utama program kerjanya adalah peningkatan kesejahteraan umum. Peristiwa penting yang terjadi semasa pemerintahannya adalah peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa 17 Oktober 1952, yaitu tuntutan rakyat yang didukung oleh Angkatan Darat yang dipimpin Nasution, agar DPR Sementara dibubarkan diganti dengan parlemen baru. Sedang Peristiwa Tanjung Morawa (Sumatra Timur) mencakup persoalan perkebunan asing di Tanjung Morawa yang diperebutkan dengan rakyat yang mengakibatkan beberapa petani tewas.

4.      Kabinet Ali Sastroamijoyo I ( 30 Juli 1953-12 Agustus 1955 )
Kabinet ini dikenal dengan Kabinet Ali Wongso (Ali Sastroamijoyo dan Wongsonegoro). Prestasi yang dicapai adalah terlaksananya Konferensi di Bandung 18-24 April 1955.

5.      Kabinet Burhanudin Harahap ( 12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956 )
Kabinet ini dipimpin oleh Burhanudin Harahap dengan inti Masyumi. Keberhasilan yang diraih adalah menyelenggarakan pemilu pertama tahun 1955. Karena terjadi mutasi di beberapa kementerian, maka pada tanggal 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap menyerahkan mandatnya.

6.      Kabinet Ali Sastroamijoyo II ( 24 Maret 1956 – 9 April 1957 )
Program Kabinet Ali II disebut Rencana Lima Tahun. Program ini memuat masalah jangka panjang, misalnya perjuangan mengembalikan Irian Barat. Muncul semangat anti- Cina dan kekacauan di daerah-daerah sehingga menyebabkan kabinet goyah. Akhirnya pada Maret 1957, Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya.

7.      Kabinet Djuanda ( 9 April 1957 – 10 Juli 1959 )
Kabinet Djuanda sering dikatakan sebagai Zaken Kabinet, karena para menterinya merupakan ahli dan pakar di bidangnya masing-masing. Tugas Kabinet Djuanda melanjutkan perjuangan membebaskan Irian Barat dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk. Prestasi yang diraih adalah berhasil menetapkan lebar wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari Pulau Indonesia. Ketetapan ini dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Kabinet ini menjadi demisioner ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Untuk lebih jelas tentang praktik penyelenggaran sistem pemerintahan berdasarkan UUDS 1950 dapat terlihat pada ciri-ciri sistem  pemerintahan pada waktu itu, yaitu sebagai berikut :
1.      Sebagai kepala negara, presiden dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh wakil presiden (Pasal 45 Ayat 1 dan 2. Seharusnya, tidak ada wakil presiden ).
2.      Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat ( Pasal 83 Ayar 1 ).
3.      Kekuasaan legislatif  dipegang oleh pemerintah bersama DPR ( Pasal 89 ), dan DPR berhak mengajukan usul perubahan undang-undang ( Pasal 90 Ayat 2 ).
4.      DPR dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya dan sebagai imbalannya presiden berhak membubarkan DPR ( Pasal 69 Ayat 2, Pasal 83, dan Pasal 84 ).
5.      Perdana menteri diangkat oleh presiden ( Seharusnya oleh Parlemen ) dengan membentuk formatur melalui keputusan presiden, begitu juga dengan penghentiannya ( Pasal 51 Ayat 2,4 dan 5 ).
6.      Presiden dan wakil presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan (Pasal 45, Pasal 46 Ayat 1 dan Pasal 50 ). Seharusnya terpisah antara presiden sebagai kepala negara dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
7.      Kekuasaan perdana menteri masih dicampurtangani oleh presiden ( Pasal 52 Ayat 2 ). Seharusnya, presiden tidak terlibat dalam kepemerintahan.

Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara. Sifar kesementaraan ini Nampak dalam rumusan Pasal 134 yang menyatakan bahwa “ Konstituante ( Lembaga Pembuat UUD ) bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini “. Anggota Konstituante dipilih melalui pemilihan umum bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung.

Sekalipun Konstituante telah bekerja kurang lebih selama dua setengah tahun, namun lembaga ini masih belum berhasil menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah adanya pertentangan pendapat diantara partai-partai politik di badan konstituante dan juga di DPR serta di badan-badan pemerintahan.

Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD 1945. Pada dasarnya saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituante, tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda.

Oleh karena tidak memperoleh kata sepakat, maka diadakan pemungutan suara. Sekalipun sudah tiga kali diadakan pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran Presiden tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir.

Kegagalan Konstituante untuk menetapkan rancangan UUD membuat keadaan politik dalam negeri Indonesia berada dalam ancaman.  Ancaman yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam situasi ini,  dengan situasi tersebut pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno membacakan dekritnya, yang dikenal dengan Dekrit 5 Juli 1959.

Isi Dekrit 5 Juli 1959 adalah:
1.      Membubarkan Konstutuante.
2.      Memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 bagi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan tidak berlakunya lagi UUD sementara tahun 1950.
3.       Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
MASA DEMOKRASI LIBERAL 1950-1959
Pada masa Demokrasi Liberal yang dimulai tahun 1950 hingga 1959, diwarnai dengan adanya munculnya partai-partai yang saling berebut untuk menduduki kabinet. Pada masa ini ada dua partai yang sangat menonjol dalam percaturan politik yaitu PNI dan Masyumi. Sehingga masa ini diidentifikasikan dengan masa jatuh bangunnya kabinet.
Masa Demokrasi Liberal kepemimpinan negara diatur menurut Undang-undang Dasar yang bertanggung jawab kepada parlemen. Dan kabinet disusun menurut pertimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen dan sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh wakil-wakil partai itu.
Sebelum melanjutkan kegiatan belajar berikutnya peserta diharapkan mempelajari masa Demokrasi Liberal.

1. Arti Sistem Demokrasi Liberal
Suatu bentuk sistem politik dan pemerintahan yang bersendikan pada asas-asas liberalisme yang ada dan berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Di Indonesia sistem Demokrasi Liberal berlangsung sejak tahun 1950 sampai tahun 1959 saat dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada masa ini perrgantian kabinet dilatarbelakangi oleh perbedaan yang tajam antara partai-partai melawan partai yang memerintah. Bahkan pernah terjadi partai menjatuhkan kabinetnya sendiri.
Masa Jatuh Bangun Kabinet

2. Kondisi Politik Masa Demokrasi Liberal
Masa Liberal di Indonesia (1950-1959) biasa pula disebut masa kabinet parlementer. Kabinet parlementer adalah kabinet yang pemerintahan sehari-hari dipegang oleh seorang Perdana Menteri. Dalam masa Kabinet Parlementer ini ternyata konflik partai di Indonesia sangat tinggi sehingga kabinet terpaksa jatuh bangun.
Kabinet disusun berdasarkan pertimbangan kekuatan kepartaian. Karena itu bila dianggap tidak berhasil, sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan. Sehubungan dengan itu pada masa Demokrasi Liberal sering terjadi pergantian kabinet. Hal ini terjadi terutama karena sering terjadi konflik di antara partai-partai politik. Sebagai contoh pertentangan antara Masyumi dan PNI. Pertentangan antara kedua partai besar ini dalam parlemen tidak pernah dapat didamaikan sehingga menjadi berlarut-larut.

Seringnya pergantian kabinet membuat masa yang singkat itu (1950-1959) dikuasai oleh beberapa kabinet. Kabinet-kabinet tersebut adalah : Kabinet Natsir (Masyumi 1950-1951), Kabinet Sukiman (Masyumi 1951-1952), Kabinet Wilopo (1952-1953), Kabinet Ali Sastroamidjojo I (PNI 1953-1955), Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi 1955-1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957), dan akhirnya Kabinet Djuanda (Zaken kabinet 1957-1959).

Jatuh bangunnya kabinet pada masa Demokrasi Liberal disebabkan karena adanya konflik antara partai politik. Misalnya Kabinet Natsir jatuh karena PNI menentang kebijakannya mengenai Irian Jaya. Konflik partai Masyumi dan PNI ini dimenangkan oleh Masyumi dan menjadikan kabinet Sukiman berkuasa.
Kabinet Sukiman tidak berlangsung lama karena ia dijatuhkan oleh PNI. Partai Nasional Indonesia menentang penandatanganan program bantuan Amerika Serikat kepada pemerintah RI. Alasan penolakannya adalah karena bantuan itu dapat dipakai sebagai alat untuk memasukkan RI ke dalam Blok Amerika Serikat. Dengan demikian menurut PNI, Indonesia tidak bersikap bebas aktif lagi dalam melihat “Perang Dingin” antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat.

Untuk mengurangi konflik antara PNI dan Masyumi itu Presiden menunjuk tokoh moderat dari PNI untuk memimpin Kabinet, maka terbentuklah Kabinet Wilopo (1952-1953). Kabinet ini bertugas mengadakan persiapan pemilihan umum dan pembentukan dewan konstituante. Namun sebelum tugas ini dapat diselesaikan, kabinet inipun harus meletakkan jabatan. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah makin tidak percaya kepada pemerintah pusat. Di samping itu terjadi “peristiwa 17 Oktober 1952”, yaitu desakan dari pihak-pihak tertentu agar Presiden segera membubarkan Parlemen yang tidak mencerminkan keinginan rakyat.

Peristiwa 17 Oktober 1952 dimanfaatkan oleh TNI-AD untuk kepentingan politiknya. Golongan yang dipimpin Kol. Bambang Sugeng itu tidak menyetujui Kol. A.H. Nasution sebagai KASAD. Sekelompok partai dalam parlemen menyokong dan menuntut agar diadakan perombakan pimpinan Kementerian Pertahanan dan TNI.

Keterlibatan partai dianggap oleh pimpinan TNI sebagai campur tangan sipil dalam urusan tentara. Oleh karena itu mereka menuntut agar Presiden membubarkan Parlemen. Presiden menolak tuntutan ini sehingga KASAD maupun KSAP meletakkan jabatan. Mandat pembentukan kabinet tetap diserahkan kepada PNI. Dalam suasana konflik politik itu, Ali Sastroamidjojo terpilih untuk memimpin kabinet.

Tugas Kabinet Ali Sastroamidjojo adalah melanjutkan program kabinet Wilopo, yaitu antara lain melaksanakan Pemilihan Umum untuk memilih DPR dan Konstituante.
Meskipun Kabinet Ali Sastroamidjojo berhasil dalam politik luar negeri yaitu, dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung dalam bulan April 1955, namun Kabinet Ali Sastroamidjojo harus meletakkan jabatan sebelum dapat melaksanakan tugas utamanya yaitu pemilu, alasannya karena pimpinan TNI-AD menolak pimpinan baru yang diangkat Menteri Pertahanan. Hal ini sebenarnya yang berpangkal pada peristiwa 17 Oktober 1952. Calon pimpinan TNI yang diajukan Kabinet ini ditolak oleh Korps perwira sehingga menimbulkan krisis kabinet.

Pada saat itu Presiden Soekarno akan berangkat ke tanah Suci Mekah. Sebelum berangkat Presiden mengangkat tiga orang untuk menjadi formatur kabinet, yaitu Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI), dan Asaat (non partai). Namun ketiga orang ini tidak berhasil membentuk kabinet hingga terpaksa mengembalikan mandatnya pada Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta. Hatta kemudian menunjuk Burhanuddin Harahap dari Masyumi untuk membentuk kabinet.

Kabinet Burhanudin (1955-1956), ditugaskan untuk melaksanakan pemilihan umum. Usaha ini berhasil sekalipun mengalami kendala-kendala yang berat. Pada tanggal 29 September 1955 pemilihan anggota-anggota parlemem dilakukan, dan pada tanggal 15 Desember 1955 diadakan pemilihan umum untuk Konstituante. Setelah itu kabinet Burhanudin meletakkan jabatan dan kemudian dibentuk kabinet baru yang sesuai dengan hasil pemilihan umum.

Selain masalah pemilihan umum Kabinet Burhanuddin juga berhasil menyelesaikan masalah TNI-AD dengan diangkatnya kembali Kol. A.H.

Nasution sebagai KASAD pada bulan Oktober 1955. Selain itu dalam politik luar negeri kabinet ini condong ke barat dan berusaha mengadakan perundingan dengan Belanda mengenai soal Irian Barat.
Hasil pemilihan umum 1955 menunjukkan PNI adalah partai yang terkuat. Oleh sebab itu presiden mengangkat seorang formatur kabinet dari PNI yaitu Ali Sastoramidjojo. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957) adalah kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi. Kabinet ini mempunyai rencana kerja untuk lima tahun. Rencana kerja ini disebut rencana lima tahun. Isinya antara lain adalah perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat dalam wilayah RI. Otonomi daerah, mengusulkan perbaikan nasib buruh, penyehatan keuangan, dan pembentukan Dewan Ekonomi Nasional.

Sementara program berjalan timbul masalah-masalah baru. Pertama kegagalan dalam memaksa pihak Belanda agar menyerahkan Irian Barat dan pembatalan perjanjian KMB. Kedua, berkembangnya masalah anti Cina di kalangan rakyat yang tidak senang melihat kedudukan istimewa golongan ini dalam perdagangan. Sehingga perkelahian dan pengrusakan terjadi di beberapa kota. Ketiga di beberapa daerah timbul perasaan tidak puas terhadap pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan terjadinya pergolakan di beberapa daerah. Pergolakan daerah itu mendapat dukungan dari beberapa panglima TNI-AD, mereka merebut kekuasaan di daerah dengan cara membentuk Dewan Banteng di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956, Dewan Gajah di Sumatera Utara pada tanggal 22 Desember 1956. Dewan Garuda di Sumatera Selatan dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.

Untuk mengatasi keadaan ini Presiden mengumumkan berlakunya undang-undang SOB (negara dalam keadaan bahaya) dan angkatan perang mendapat wewenang khusus untuk mengamankan negara di seluruh Indonesia. Tetapi usaha Presiden untuk mempengaruhi partai-partai agar mau membentuk kabinet baru ternyata gagal. Sebab itu ia mengangkat Ir. Djuanda yang tidak berpartai sebagai formatur kabinet. Kabinet Djuanda (1957-1959) bertugas menyelesaikan kemelut dalam negeri, selain memperjuangkan kembalinya Irian Barat dan menjalankan pembangunan. Pertama-tama kabinet ini membentuk suatu Dewan Nasional yang bertugas memberi nasehat kepada pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Di samping itu, diadakan musyawarah nasional untuk mencari jalan keluar dari kemelut nasional. Sebelum musyawarah itu menghasilkan keputusan terjadi “Peristiwa Cikini”, yaitu percobaan pembunuhan Presiden.
Pada tanggal 10 Februari 1958, Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum agar Kabinet Djuanda dibubarkan dalam waktu lima kali 24 jam. Presiden ternyata tidak menghiraukan hal ini sehingga akhirnya Dewan Banteng memproklamasikan berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Begitu pula di Sulawesi dibentuk pemerintahan sendiri yaitu Permesta. Hal itu membuat situasi negara semakin mengkhawatirkan.

E.   Faktor Yang Menyebabkan Seringnya Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal
 Pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari:
1.      Masyumi (49 kursi).
2.      PNI (36 kursi),
3.      PSI (17 kursi).
4.      PKI (13 kursi)
5.      Partai Katholik (9 kursi).
6.      Partai Kristen (5 kursi), dan
7.      Murba (4 kursi),

Sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi.
Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.

Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Soekarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.

Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik.
Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen.

Penyebab kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.

Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.

Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun tidaklah serta merta bahwa setalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Demokrasi Terpimpin dilaksanakan karena telah disebutkan di atas bahwa Demokrasi Liberal berakhir pada tanggal 10 Juli 1959.

Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden :
1.    Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
2.    Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.
3.    Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.
4.    Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.
5.    Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional
6.    Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk
7.    Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.

Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara.

Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden:
1.    Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik yang telah goyah selama masa Liberal.
2.    Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.
3.    KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit Presiden.
4.    DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk melaksanakan UUD 1945.
Dampak positif  diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut:
1.      Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
2.      Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.
3.      Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut:
1.        Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 1945 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.
2.        Memberi kekuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.
3.        Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.

F.    Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer

1.      Kelebihan :
a.       Pembuatan kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif.
b.      Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
c.       Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
d.      Tumbuh demokrasi dengan sistem multipartai, sehingga aspirasi rakyat memungkinkan tersalurkan.
e.       Mampu menyelenggarakan pemilu yang demokratis.
f.       Mampu menggalang dukungan internasional guna memperjuangkan bangsa Asia-Afrika yang terjajah melalui KAA di Bandung.
2.      Kekurangan :
a.       Kedudukan badan eksekutif atau kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlementer.
b.      Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan, karena sewaktu-waktu dapat dibubarkan oleh kabinet.
c.       Kabinet dapat mengendalikan parlemen, hal ini terjadi bila para anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas, karena pengaruh mereka yang besar di parlemen dan partai, serta anggota kabinet pun dapat menguasai parlemen.
d.      Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif.
e.       Sistem multipartai berdampak pada mendominasinya kepentingan partai politik, sehingga timbul berbagai pemberontakan yang mempengaruhi stabilitas politik.
f.       Tidak terdapat partai yang menang mayoritas sehingga mempengaruhi stabilitas politik dan pemerintahan.
g.       Kebijakan pembangunan nasioanl yang tidak berjalan, sehingga pembangunan ekonomi praktis belum dirasakan sebagian besar masyarakat.

Perbedaan sistem pemerintahan antara Konstitusi RIS 1945 dengan UUDS 1950 :
1.      Konstitusi RIS 1949:
a.       Tidak terdapat mosi tidak percaya yang dilakukan perlemen.
b.      Mempunyai alat kelengkapan negara: Presiden, Menteri-menteri, Senat, DPR, MAI dan DPK.
c.       Kabinet tidak mempunyai hubungan erat dengan parlemen.
2.      UUDS 1950 :
a.       Terdapat mosi tidak percaya yang dilakukan oleh perlemen (DPR ).
b.      Mempunyai alat kelengkapan negara : Presiden dan wakil presiden, Menteri-menteri, DPR, MA dan DPK.
c.       Kabinet mempunyai hubungan erat dengan parlemen ( DPR ).

BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan
UUDS 1950 merupakan undang-undang sementara setelah sebelumnya terdapat UUD RIS, atau UUDS 1950 merupakan undang-undang transisi masa peralihan dari UUD RIS menuju pemberlakuan kembali UUD 1945.

Sistematika UUDS 1950, adalah sebagai berikut: Mukaddimah terdiri dari empat alinea,Batang Tubuh terdiri dari enam bab dan 146 pasal.Dalam UUDS 1950 tidak terdapat bagian penjelasan.
 Bentuk negara yang di kehendaki oleh UUDS tahun 1950 ialah negara kesatuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam mukaddimah alinea IV UUDS 1950
Bentuk pemerintahan adalah republik sesuai dengan Mukadimah alinea IV dan Pasal 1 Ayat (1) UUDS 1950
Berdasarkan UUDS 1950, sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem pemerintahan parlementer yang semu ( quasi parlementer ), alat-alat kelengkapan negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 UUDS 1950 sebagai berikut :
1.      Presiden dan wakil presiden.
2.      Menteri-menteri.
3.      Dewan Perwakilan Rakyat.
4.      Mahkamah Agung.
5.      Dewan Pengawas Keuangan

Dalam kurun waktu tahun 1950 s/d 1959. Berikut kabinet-kabinet yang pernah ada pada waktu itu.
1.      Kabinet Natsir ( 6 September 1950 – 27 April 1951 )
2.      Kabinet Sukiman (27 April 1951- 3 April 1952)
3.      Kabinet Wilopo ( 3 April 1952 – 30 Juli 1953)
4.      Kabinet Ali Sastroamijoyo I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955)
5.      Kabinet Burhanudin Harahap ( 12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956)
6.      Kabinet Ali Sastroamijoyo II ( 24 Maret 1956 – 9 April 1957)
7.      Kabinet Djuanda ( 9 April 1957 – 10 Juli 1959)

Isi Dekrit 5 Juli 1959 adalah:
1.      Membubarkan Konstutuante.
2.      Memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 bagi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan tidak berlakunya lagi UUD sementara tahun 1950.
3.      Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
  Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer
1.      Kelebihan :
a.       Pembuatan kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif.
b.      Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
c.       Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
d.      Tumbuh demokrasi dengan sistem multipartai, sehingga aspirasi rakyat memungkinkan tersalurkan.
e.       Mampu menyelenggarakan pemilu yang demokratis.
f.       Mampu menggalang dukungan internasional guna memperjuangkan bangsa Asia-Afrika yang terjajah melalui KAA di Bandung.
2.      Kekurangan :
a.       Kedudukan badan eksekutif atau kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlementer.
b.      Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan, karena sewaktu-waktu dapat dibubarkan oleh kabinet.
c.       Kabinet dapat mengendalikan parlemen, hal ini terjadi bila para anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas, karena pengaruh mereka yang besar di parlemen dan partai, serta anggota kabinet pun dapat menguasai parlemen.
d.      Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif.
e.       Sistem multipartai berdampak pada mendominasinya kepentingan partai politik, sehingga timbul berbagai pemberontakan yang mempengaruhi stabilitas politik.
f.       Tidak terdapat partai yang menang mayoritas sehingga mempengaruhi stabilitas politik dan pemerintahan.
g.       Kebijakan pembangunan nasioanl yang tidak berjalan, sehingga pembangunan ekonomi praktis belum dirasakan sebagian besar masyarakat.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Tampilkan Komentar
Sembunyikan Komentar

0 Response to "Pembahasan Lengkap Tentang Sistem Pemerintahan Parlementer UUDS 1950"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel


Like this blog? Keep us running by whitelisting this blog in your ad blocker.

This is how to whitelisting this blog in your ad blocker.

Thank you!

×