Pembahasan Lengkap Tentang Asbabun Nuzul
Tuesday, January 3, 2017
Add Comment
A. Pengertian Asbabun Nuzul
Ungkapan asbabun nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakanginya terjadi sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbabun nuzul, namun dalam pemakaiannya, ungkapan tersebut khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya Al Qur’an, seperti halnya asbabul wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadis.
Para Mufassir merumuskan penegertian asbabun nuzul secara terminologi diantaranya:
a. Menurut Az-Zarqani:
Adalah sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya ayat al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.
b. Menurut Ali Ash-Shabuni:
Adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.
c. Menurut DR. Shubhi Shalih:
Adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respon atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum disaat peristiwa itu terjadi.
d. Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan:
Adalah kejadian atau peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an sebagai jawaban dan penjelasan atas peristiwa yang terjadi pada saat tertentu.
Dengan demikian Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa yang terjadi, atau suatu jawaban dari pertanyaan yang mendahului turunnya ayat.
Adapun cara turunnya ayat-ayat Al Qur’an adalah :
a. Ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada
1) Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui (hukum) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
2) Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-qur’an).
b. Ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.
B. Pedoman dan Pentingnya Mengetahui Asbabun Nuzul
Dengan menukil riwayat dari sahabat yang ikut menyaksikan fas-fase turunnya ayat atau mendengarnya dari Rasulullah saw langsung; tidak melalui ijtihad. Hal itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat (ra’y), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan: “Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya”.
C. Faedah Mengetahui Asbabun Nuzul
a. Mengetahui sebab nuzul membantu dan memudahkan menghafal dan memahami inti dan makna Al Qur’an, karena mengaitkan sebab dan musabab hukum dengan berbagai peristiwa, peristiwa dengan pelakunya, kejadiannya dan tempat terjadinya. Semuanya merupakan aspek-aspek yang membantu dalam memantapkan sesuatu di otak kita, memudahkan hafalannya.
b. Dengan mengetahui sebab nuzul kita tahu motivasi disyariatkannya sebuah hukum. Imam Al Wahidi mengatakan: “Tidak mungkin mengetahui tafsir Nabi dengan benar tanpa mengetahui kisah dan sebab nuzulnya”.
D. Aspek-aspek dan Contoh Asbabun Nuzul
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)” (QS. Al-A’la [87]: 14)
Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan diisnadkan kepada Ibn Umar, bahwa ayat itu turun berkenaan dengan zakat Ramadlan (fitrah), Kemudian dengan isnad yang marfu’, Baihaqi meriwayatkan pula keterangan yang sama. Sebagian dari mereka berkata, “Aku tidak mengerti maksud penakwilan yang seperti ini, sebab surah ini Makkiyah, sedang di Mekah belum ada Idul Fitri & zakat.”
As-Suyuthi mengemukakan contoh nuzul yang mendahului hukum :
لَا أُقْسِمُ بِهَذَا الْبَلَدِ(1) وَأَنْتَ حِلٌّ بِهَذَا الْبَلَدِ
“Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah) & kamu (Muhammad) menduduki kota (Makkah) ini.” (Al-Balad [90] : 1-2)
Al-Wahidi meriwayatkan dalam Asbabun Nuzulil Wahidinya :
أَخْرَجَ الْوَاحِدِيْ عَنِ ابْنِ أَبِيْ عَبَّاسٍ, قَالَ أَرْسَلَ رَسُوْلَ اللهِ رَجُلاً مِنْ قَبِيْلَةٍ غَنِيَّةٍ هُوَ مَرْثَدُ ابْنُ أَبِيْ مَرْثَدِ الْغَنَوِيْ إِلَى مَكَّةَ لِيَتَحَرَّى الْمُسْلِمِيْنَ. حِيْنَ وَصَلَ مَكَّةَ سَمِعَ عَنَاقَ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ. وَبَعْدَ إِنْتِهَاءِ عَمَلِهِ, عَادَى مَرْثَدُ إِلَى الْمَدِيْنَةِ لِيُقَابِلَ النَّبِيَّ وَأَخْبَرَ مَرْثَدُ أَنْ يَتَزَوَّجَ عَنَاقَ. قَالَ مَرْثَدُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هَلْ جَازَىْ عَلَيَّ أَنْ يَتَزَوَّجَهُ؟ فَنَزَلَتْ: وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١)
“Dikeluarkan oleh Al-Wahidi dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata (Ibnu ‘Abbas) : Rasulullah SAW mengutus seorang lelaki dari kabilah yang terkenal kaya. Orang tersebut bernama Martsad Ibnu Abi Martsad (sekutu Bani Hasyim). Dia (Martsad) diutus ke Mekah untuk membebaskan tawanan Muslimin yang ditahan di sana (Mekah). Tatkala Martsad sampai di kota Mekah, kedatangannya telah didengar oleh seorang wanita bernama ‘Anaq yang pada masa jahiliyah menjadi gundik Martsad. Ketika Marsad memasuki agama Islam, ia telah berpaling meninggalkannya(‘Anaq). Kemudian ‘Anaq menjumpainya (Martsad) dan berkata padanya (Martsad): “celaka engkau hai Martsad! kemana saja engkau?” Martsad menjawab: “Islam telah menghalangi diriku (Martsad) dengan dirimu (‘Anaq) dan Islam telah mengharamkannya (hubungan Martsad dengan ‘Anaq)”. Tetapi jika engkau suka, akan aku kawini engkau”. ‘Anaq menjawab: “baiklah saya setuju”. Martsad melanjutkan perkataannya: “baiklah aku pulang dulu untuk meminta izin kepada Rasulullah tentang masalah ini, baru aku akan menikahimu”. ‘Anaq berkata padanya (Martsad): “Oh Ayahku”, sambil mengumpat dan meminta pertolongan kepada orang banyak, sehingga mereka berdatangan dan memukuli Martsad habis-habisan, kemudian mereka (warga yang ada di sekitar Martsad dan ‘Anaq) meninggalkannya (Martsad). Setelah menyelesaikan tugasnya (tugas membebaskan tawanan Muslimin di Mekah), ia segera kembali ke Madinah menemui Rasulullah SAW dan mengkabarkan kepada Beliau (Nabi) keinginannya untuk mengawini ‘Anaq dan menceritakan peristiwa yang ia (Martsad) alami bersama ‘Anaq ketika di Mekah, sehingga ia (Martsad) dipukuli banyak orang. Martsad berkata kepada Beliau (Nabi): “wahai Rasulullah, bolehkah saya menikahinya(‘Anaq)?”. Karena pertanyaan yang diajukan oleh Martsad kepada Rasulullah, maka turunlah ayat: 221, Surat al-Baqarah (2):
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١)
221. “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita Musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita Musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang Musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang Musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
Al-Wâhidî meriwayatkan dalam Asbâbun Nuzûli lil Wâhidînya dengan redaksi yang berbeda:
أَخْرَجَ الوَاحِدِيْ عَنْ طَرِيْقِ السُّدِّيِّ, عَنْ أَبِيْ مَالِكٍ, عَنِ ابْنِ أَبِيْ عَبَّاسٍ قَالَ : نَزَلَتْ هَاذِهِ الآيَةُ فِيْ عَبْدِ اللهِ بْنِ رَوَاحَةَ ، وَكَانَتْ لَهُ أَمَةٌ سَوْدَاءٌ ، وَأنَّهُ غَضِبَ عَلَيْهَا فَلَطَمَهَا, ثُمَّ فَزِعَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ قَالَ عَبْدُ اللهِ : فَوَالَّذِيْ بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَأَعْتِقََنََّهَا وَلَأَتَزَوََّجَنَََّهَا! فَفْعَلْ ، فَطَعَنَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَالُوْا : يَنْكِحُ أَمَةٌ. فَأَنْزَلَ اللهُ: ................................. وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١)
“ Dikeluarkan oleh al-Wahidi dari jalur as-Sudiyu, dari Abi Malik, dari Ibnu ‘Abbas, dia (Ibnu ‘Abbas) berkata: “ayat: 221, Surat al-Baqarah (2), turun pada ‘Abdullah bin Rawahah, dia (‘Abdullah bin Rawahah) memiliki seorang budak yang berkulit hitam (dan dia seorang yang musyrik). dan pada suatu waktu, dia (‘Abdullâh bin Rawahah) marah kepadanya (budaknya yang berkulit hitam dan dia seorang yang musyrik) dan menamparnya(budaknya yang berkulit hitam dan dia seorang yang musyrik), kemudian dia (‘Abdullâh bin Rawahah) datang dan mengadu, serta mengkabarkan kepada Nabi SAW (tentang unek-uneknya), kemudian dia (‘Abdullâh bin Rawahah) berkata: “dan demi Allah yang telah mengutusmu (Nabi SAW) dengan kebenaran, bahwa saya (‘Abdullâh bin Rawahah) tidak memerdekakannya (budaknya yang berkulit hitam dan dia seorang yang musyrik) dan saya tidak menikahinya(budaknya yang berkulit hitam dan dia seorang yang musyrik) akan tetapi ia(‘Abdullâh bin Rawahah) {melakukan hubungan suami istri kepada budaknya dan hendak menikahinya /budak ‘Abdullâh bin Rawahah) }”. Maka para Sahabat (yang mendengar dan yang mengetahui kabar itu) banyak yang mencela dia (‘Abdullâh bin Rawahah). Dan para Sahabat berkata: “dia (‘Abdullâh bin Rawahah) hendak menikahinya (budak ‘Abdullah bin Rawahah yang berkulit hitam dan dia seorang yang musyrik) !! Karena pengaduan yang disampaikan ‘Abdullâh bin Rawahah kepada Nabi SAW, maka turunlah ayat: 221, Surat al-Baqarah (2).
E. Sikap Mufasir Terhadap Riwayat Asbabun Nuzul
Imam Al-Wahidi berpendapat bahawa untuk mengetahui tafsir sesuatu ayat Al-Quran, tidak mungkin tanpa mengetahui, latar belakang peristiwa dan kejadiantentang penurunannya. Sementara Ibnu Daqiequl ’ied berpendapat bahwa keterangan tentang kejadian turunnya ayat merupakan cara yang kuat untuk memahami makna ayat Al-Quran. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa mengetahui Asbab Nuzul ayat, menolong kita memahami makna ayat, karena mengetahui kejadian turunnya itu memberikan dasar untuk mengetahui penyebabnya.
Dalam sejarah dikemukakan bahwa Muhammad bin Sirrin pernah bertanya kepada Ubaidah tentang makna suatu ayat di dalam Al-Quran. Ubaidah menjawab: “Bertaqwalah kepada Allah serta mengakulah dengan jujur bahawa orang yangmengetahui sebab-sebab diturunkan ayat itu kembali.” Oleh kerana itu, untuk mengungkap kembali kejadian tersebut, perlu mengkaji dengan mendalam riwayat tentang penurunan ayat tersebut, berdasarkan hadis-hadis Rasulullah SAW.
Menurut Al Hakim dalam kitab “Ulumul Hadis”, apabila seorang sahabat yang menyaksikan penurunan wahyu dan ayat-ayat Al-Quran berkata bahwa ayat ini diturunkan tentang si fulan dapatlah dibuat kesimpulan bahwa hadis itu adalah “musnad”. Orang yang sependapat dengan beliau ialah Ibnu Shalah.
Kadang-kadang terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang ucapan para sahabi, apakah ia termasuk di dalam asbab nuzul atau tafsir. Al-Bukhari memasukkannya ke dalam musnad sedangkan para ulama lain tidak menganggapnya sebagai musnad kecuali apabila di belakangnya menyebut sebab turunnya ayat tersebut.
Az-Zarkasyi menyebut di dalam kitabnya Al-Burhan: “Dari adat para sahabat dan tabi’in dapat diketahui apabila salah seorang berkata, “Turunnya ayat ini di dalam perkara ini, maka maksud kata-kata ini adalah bahwa ayat tersebut mengandung hukum-hukum tentang sesuatu dan bukan sebagai Asbab Nuzulnya.
Ungkapan asbabun nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakanginya terjadi sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbabun nuzul, namun dalam pemakaiannya, ungkapan tersebut khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya Al Qur’an, seperti halnya asbabul wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadis.
Para Mufassir merumuskan penegertian asbabun nuzul secara terminologi diantaranya:
a. Menurut Az-Zarqani:
Adalah sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya ayat al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.
b. Menurut Ali Ash-Shabuni:
Adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.
c. Menurut DR. Shubhi Shalih:
Adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respon atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum disaat peristiwa itu terjadi.
d. Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan:
Adalah kejadian atau peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an sebagai jawaban dan penjelasan atas peristiwa yang terjadi pada saat tertentu.
Dengan demikian Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa yang terjadi, atau suatu jawaban dari pertanyaan yang mendahului turunnya ayat.
Adapun cara turunnya ayat-ayat Al Qur’an adalah :
a. Ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada
1) Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui (hukum) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
2) Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-qur’an).
b. Ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.
B. Pedoman dan Pentingnya Mengetahui Asbabun Nuzul
Dengan menukil riwayat dari sahabat yang ikut menyaksikan fas-fase turunnya ayat atau mendengarnya dari Rasulullah saw langsung; tidak melalui ijtihad. Hal itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat (ra’y), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan: “Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya”.
C. Faedah Mengetahui Asbabun Nuzul
a. Mengetahui sebab nuzul membantu dan memudahkan menghafal dan memahami inti dan makna Al Qur’an, karena mengaitkan sebab dan musabab hukum dengan berbagai peristiwa, peristiwa dengan pelakunya, kejadiannya dan tempat terjadinya. Semuanya merupakan aspek-aspek yang membantu dalam memantapkan sesuatu di otak kita, memudahkan hafalannya.
b. Dengan mengetahui sebab nuzul kita tahu motivasi disyariatkannya sebuah hukum. Imam Al Wahidi mengatakan: “Tidak mungkin mengetahui tafsir Nabi dengan benar tanpa mengetahui kisah dan sebab nuzulnya”.
D. Aspek-aspek dan Contoh Asbabun Nuzul
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)” (QS. Al-A’la [87]: 14)
Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan diisnadkan kepada Ibn Umar, bahwa ayat itu turun berkenaan dengan zakat Ramadlan (fitrah), Kemudian dengan isnad yang marfu’, Baihaqi meriwayatkan pula keterangan yang sama. Sebagian dari mereka berkata, “Aku tidak mengerti maksud penakwilan yang seperti ini, sebab surah ini Makkiyah, sedang di Mekah belum ada Idul Fitri & zakat.”
As-Suyuthi mengemukakan contoh nuzul yang mendahului hukum :
لَا أُقْسِمُ بِهَذَا الْبَلَدِ(1) وَأَنْتَ حِلٌّ بِهَذَا الْبَلَدِ
“Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah) & kamu (Muhammad) menduduki kota (Makkah) ini.” (Al-Balad [90] : 1-2)
Al-Wahidi meriwayatkan dalam Asbabun Nuzulil Wahidinya :
أَخْرَجَ الْوَاحِدِيْ عَنِ ابْنِ أَبِيْ عَبَّاسٍ, قَالَ أَرْسَلَ رَسُوْلَ اللهِ رَجُلاً مِنْ قَبِيْلَةٍ غَنِيَّةٍ هُوَ مَرْثَدُ ابْنُ أَبِيْ مَرْثَدِ الْغَنَوِيْ إِلَى مَكَّةَ لِيَتَحَرَّى الْمُسْلِمِيْنَ. حِيْنَ وَصَلَ مَكَّةَ سَمِعَ عَنَاقَ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ. وَبَعْدَ إِنْتِهَاءِ عَمَلِهِ, عَادَى مَرْثَدُ إِلَى الْمَدِيْنَةِ لِيُقَابِلَ النَّبِيَّ وَأَخْبَرَ مَرْثَدُ أَنْ يَتَزَوَّجَ عَنَاقَ. قَالَ مَرْثَدُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هَلْ جَازَىْ عَلَيَّ أَنْ يَتَزَوَّجَهُ؟ فَنَزَلَتْ: وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١)
“Dikeluarkan oleh Al-Wahidi dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata (Ibnu ‘Abbas) : Rasulullah SAW mengutus seorang lelaki dari kabilah yang terkenal kaya. Orang tersebut bernama Martsad Ibnu Abi Martsad (sekutu Bani Hasyim). Dia (Martsad) diutus ke Mekah untuk membebaskan tawanan Muslimin yang ditahan di sana (Mekah). Tatkala Martsad sampai di kota Mekah, kedatangannya telah didengar oleh seorang wanita bernama ‘Anaq yang pada masa jahiliyah menjadi gundik Martsad. Ketika Marsad memasuki agama Islam, ia telah berpaling meninggalkannya(‘Anaq). Kemudian ‘Anaq menjumpainya (Martsad) dan berkata padanya (Martsad): “celaka engkau hai Martsad! kemana saja engkau?” Martsad menjawab: “Islam telah menghalangi diriku (Martsad) dengan dirimu (‘Anaq) dan Islam telah mengharamkannya (hubungan Martsad dengan ‘Anaq)”. Tetapi jika engkau suka, akan aku kawini engkau”. ‘Anaq menjawab: “baiklah saya setuju”. Martsad melanjutkan perkataannya: “baiklah aku pulang dulu untuk meminta izin kepada Rasulullah tentang masalah ini, baru aku akan menikahimu”. ‘Anaq berkata padanya (Martsad): “Oh Ayahku”, sambil mengumpat dan meminta pertolongan kepada orang banyak, sehingga mereka berdatangan dan memukuli Martsad habis-habisan, kemudian mereka (warga yang ada di sekitar Martsad dan ‘Anaq) meninggalkannya (Martsad). Setelah menyelesaikan tugasnya (tugas membebaskan tawanan Muslimin di Mekah), ia segera kembali ke Madinah menemui Rasulullah SAW dan mengkabarkan kepada Beliau (Nabi) keinginannya untuk mengawini ‘Anaq dan menceritakan peristiwa yang ia (Martsad) alami bersama ‘Anaq ketika di Mekah, sehingga ia (Martsad) dipukuli banyak orang. Martsad berkata kepada Beliau (Nabi): “wahai Rasulullah, bolehkah saya menikahinya(‘Anaq)?”. Karena pertanyaan yang diajukan oleh Martsad kepada Rasulullah, maka turunlah ayat: 221, Surat al-Baqarah (2):
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١)
221. “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita Musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita Musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang Musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang Musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
Al-Wâhidî meriwayatkan dalam Asbâbun Nuzûli lil Wâhidînya dengan redaksi yang berbeda:
أَخْرَجَ الوَاحِدِيْ عَنْ طَرِيْقِ السُّدِّيِّ, عَنْ أَبِيْ مَالِكٍ, عَنِ ابْنِ أَبِيْ عَبَّاسٍ قَالَ : نَزَلَتْ هَاذِهِ الآيَةُ فِيْ عَبْدِ اللهِ بْنِ رَوَاحَةَ ، وَكَانَتْ لَهُ أَمَةٌ سَوْدَاءٌ ، وَأنَّهُ غَضِبَ عَلَيْهَا فَلَطَمَهَا, ثُمَّ فَزِعَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ قَالَ عَبْدُ اللهِ : فَوَالَّذِيْ بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَأَعْتِقََنََّهَا وَلَأَتَزَوََّجَنَََّهَا! فَفْعَلْ ، فَطَعَنَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَالُوْا : يَنْكِحُ أَمَةٌ. فَأَنْزَلَ اللهُ: ................................. وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١)
“ Dikeluarkan oleh al-Wahidi dari jalur as-Sudiyu, dari Abi Malik, dari Ibnu ‘Abbas, dia (Ibnu ‘Abbas) berkata: “ayat: 221, Surat al-Baqarah (2), turun pada ‘Abdullah bin Rawahah, dia (‘Abdullah bin Rawahah) memiliki seorang budak yang berkulit hitam (dan dia seorang yang musyrik). dan pada suatu waktu, dia (‘Abdullâh bin Rawahah) marah kepadanya (budaknya yang berkulit hitam dan dia seorang yang musyrik) dan menamparnya(budaknya yang berkulit hitam dan dia seorang yang musyrik), kemudian dia (‘Abdullâh bin Rawahah) datang dan mengadu, serta mengkabarkan kepada Nabi SAW (tentang unek-uneknya), kemudian dia (‘Abdullâh bin Rawahah) berkata: “dan demi Allah yang telah mengutusmu (Nabi SAW) dengan kebenaran, bahwa saya (‘Abdullâh bin Rawahah) tidak memerdekakannya (budaknya yang berkulit hitam dan dia seorang yang musyrik) dan saya tidak menikahinya(budaknya yang berkulit hitam dan dia seorang yang musyrik) akan tetapi ia(‘Abdullâh bin Rawahah) {melakukan hubungan suami istri kepada budaknya dan hendak menikahinya /budak ‘Abdullâh bin Rawahah) }”. Maka para Sahabat (yang mendengar dan yang mengetahui kabar itu) banyak yang mencela dia (‘Abdullâh bin Rawahah). Dan para Sahabat berkata: “dia (‘Abdullâh bin Rawahah) hendak menikahinya (budak ‘Abdullah bin Rawahah yang berkulit hitam dan dia seorang yang musyrik) !! Karena pengaduan yang disampaikan ‘Abdullâh bin Rawahah kepada Nabi SAW, maka turunlah ayat: 221, Surat al-Baqarah (2).
E. Sikap Mufasir Terhadap Riwayat Asbabun Nuzul
Imam Al-Wahidi berpendapat bahawa untuk mengetahui tafsir sesuatu ayat Al-Quran, tidak mungkin tanpa mengetahui, latar belakang peristiwa dan kejadiantentang penurunannya. Sementara Ibnu Daqiequl ’ied berpendapat bahwa keterangan tentang kejadian turunnya ayat merupakan cara yang kuat untuk memahami makna ayat Al-Quran. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa mengetahui Asbab Nuzul ayat, menolong kita memahami makna ayat, karena mengetahui kejadian turunnya itu memberikan dasar untuk mengetahui penyebabnya.
Dalam sejarah dikemukakan bahwa Muhammad bin Sirrin pernah bertanya kepada Ubaidah tentang makna suatu ayat di dalam Al-Quran. Ubaidah menjawab: “Bertaqwalah kepada Allah serta mengakulah dengan jujur bahawa orang yangmengetahui sebab-sebab diturunkan ayat itu kembali.” Oleh kerana itu, untuk mengungkap kembali kejadian tersebut, perlu mengkaji dengan mendalam riwayat tentang penurunan ayat tersebut, berdasarkan hadis-hadis Rasulullah SAW.
Menurut Al Hakim dalam kitab “Ulumul Hadis”, apabila seorang sahabat yang menyaksikan penurunan wahyu dan ayat-ayat Al-Quran berkata bahwa ayat ini diturunkan tentang si fulan dapatlah dibuat kesimpulan bahwa hadis itu adalah “musnad”. Orang yang sependapat dengan beliau ialah Ibnu Shalah.
Kadang-kadang terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang ucapan para sahabi, apakah ia termasuk di dalam asbab nuzul atau tafsir. Al-Bukhari memasukkannya ke dalam musnad sedangkan para ulama lain tidak menganggapnya sebagai musnad kecuali apabila di belakangnya menyebut sebab turunnya ayat tersebut.
Az-Zarkasyi menyebut di dalam kitabnya Al-Burhan: “Dari adat para sahabat dan tabi’in dapat diketahui apabila salah seorang berkata, “Turunnya ayat ini di dalam perkara ini, maka maksud kata-kata ini adalah bahwa ayat tersebut mengandung hukum-hukum tentang sesuatu dan bukan sebagai Asbab Nuzulnya.
0 Response to "Pembahasan Lengkap Tentang Asbabun Nuzul"
Post a Comment